Minggu, 18 Oktober 2009

Kritik Terhadap RUUBHP

Kritik Terhadap RUUBHP


Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswi Universitas Hasanuddin dari berbagai fakultas kian menjamur. Pasalnya RUU BHP akan segera disahkan. Isu ini bukan sekedar isu, sebab fakta telah begitu telanjang bahwa “RUUBHP telah disahkan” bukan lagi “akan segera disahkan”. Saya selaku mahasiswi di PTN terfavorit di Indonesia Timur mendengar berita ini membuat tulang-tulangku bagai dilolosi satu per satu, bagaimana tidak, jika hal ini terbukti adanya, maka kami selaku mahasiswa dan mahasiswi tidak hanya akan memikirkan masalah akademik tetapi juga akan memikirkan kelanjutan kisah kami di kursi universitas yang kami raih dengan pengorbanan ini. Akankah kami bisa terus bertahan? Ataukah kami akan tereliminasi layaknya seorang peserta Akademi Fantasi Indosiar yang menarik dengan hati pilu kopor-kopor mereka. Tidak bisa dipungkiri, kebanyakan mahasiswa/mahasiswi memilih berdesak-desakan, antri berkepanjangan, tubuh terbakar matahari, saling menyiku satu sama lain untuk mendapatkan satu kursi di sebuah universitas negeri karena ingin memeroleh pendidikan yang lebih murah. Itupun telah mengorbankan harta warisan ataupun sawah di desa yang mungkin luasnya hanya sebahu. Untuk apa? Sekali lagi demi mendapatkan kursi di sebuah universitas yang pembayarannya lebih press dibandingkan universitas-universitas lain yang pembayarannya menjulang tinggi. Untuk itu, saya selaku mahasiswi yang peduli pendidikan ingin melirik RUUBHP. RUUBHP adalah ancaman komersialisasi pendidikan. Alasan-alasan yang dilontarkan oleh mereka para perancang undang-undang tidak lain adalah meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan jaminan mutu. Namun, praktiknya adalah kapitalisasi pendidikan. Cirinya, peran negara diminimalkan dan pendidikan lebih diserahkan kepada masyarakat. Walhasil jika pendidikan lebih diserahkan masyarakat maka lagi-lagi kita jatuh dalam kubangan masalah pendanaan. Dalam hal ini, saya mengakui bahwa Perguruan Tinggi tak bisa disalahkan sebab setelah keputusan itu di amini, Perguruan Tinggi juga kerepotan banting tulang untuk mencari sumber pendanaan mulai dari buka bisnis sampai yang paling gampang menaikkan biaya pendidikan. Hasilnya, pendidikan benar-benar komersialisasi. Kita lirik satu contoh universitas terbaik di Indonesia, Universitas Indonesia, pada tahun 1999, Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan (DPKP) sebesar 1,5 juta rupiah meningkat tiga kali lipat dari biaya sebelumnya yang limaratus ribu rupiah. Lalu tahun 2003, Program Prestasi Minat Mandiri (PPMM) mengharuskan mahasiswa membayar uang masuk sebesar 50-60 juta rupiah, belum uang pangkalnya (admission fee) yang kisarannya 5-25 juta rupiah. Atau biarkan aku bercerita tentang PTN lain, kita bisa mengambil ITB sebagai contoh. Pada tahun 2007 ITB membutuhkan anggaran dana sebesar Rp 392 miliar. Dengan subsidi Pemerintah yang kecil, ITB harus mencari jalan keluar agar kebutuhannya terpenuhi. Lalu ITB menetapkan biaya SPP reguler (S1) untuk tahun ajaran 2007/2008 sebesar Rp 3,25 juta/semester. Bahkan Sekolah Bisnis Manajemen dikenakan biaya sebesar Rp 625.000, 00/ SKS.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, kami selaku mahasiswa dan mahasiswi sangat mengerti akan hal itu. Namun, bukan berarti hal itu dibebankan kepada masyarakat. Lalu kepada siapa? Kewajiban Pemerintahlah yang seharusnya menjamin pendidikan setiap rakyatnya baik kaya atau pun miskin, dengan akses yang mudah untuk pendidikan yang bermutu. Saat ini, status PT-BHMN ( Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara) memberikan peluang yang besar untuk memandulkan peran Pemerintah dalam sektor pendidikan. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8%. Kondisi ini tidak terlepas dari tekanan utang dan kebijakan pembayaran utang di bumi pertiwi ini. Sebanyak 25% komponen APBN habis untuk membayar utang. Ck..ck..ck

Sekali lagi mahalnya biaya pendidikan di jenjang Perguruan Tinggi (PT) memang telah sengaja dicanangkan. Jika tidak percaya akan pernyataan ini, kita bisa kembali melirik Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). DPR sudah memasukkan RUU BHP menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2007.

Jika dicermati, RUU tersebut mengarah pada upaya liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan nasional. Pemerintah secara bertahap berupaya meminimalkan tanggung jawabnya dalam pembiayaan pendidikan melalui APBN.

Mengapa Pemerintah meminimalkan perannya bahkan cenderung melepaskan tanggung jawabnya dalam pembiayaan pendidikan? Pertama: karena Pemerintah menggunakan paradigma Kapitalisme dalam mengurusi kepentingan dan kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan. Ideologi Kapitalisme memandang bahwa pengurusan rakyat oleh Pemerintah berbasis pada sistem pasar (market based system). Artinya, Pemerintah hanya menjamin berjalannya sistem pasar itu, bukan menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Dalam pendidikan, Pemerintah hanya menjamin ketersediaan sekolah/PT bagi masyarakat; tidak peduli apakah biaya pendidikannya terjangkau atau tidak oleh masyarakat. Pemerintah akan memberikan izin kepada siapapun untuk mendirikan sekolah/PT termasuk para investor asing. Anggota masyarakat yang mampu dapat memilih sekolah berkualitas dengan biaya mahal. Yang kurang mampu bisa memilih sekolah yang lebih murah dengan kualitas yang lebih rendah. Yang tidak mampu dipersilakan untuk tidak bersekolah, ironis bukan. Kedua: Dana APBN tidak mencukupi untuk pembiayaan pelayanan pendidikan. Pasalnya, sebagian besar pos pengeluaran dalam APBN adalah untuk membayar utang dan bunganya. Dalam APBN 2007, misalnya, anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar Rp 90,10 triliun atau 11,8 persen dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun. Sebaliknya, untuk membayar utang pokok dan bunga utang mencapai 30 persen lebih dari total APBN. Kenyataan ini antara lain karena negara-negara pemberi utang mendorong negara-negara pengutang seperti Indonesia meminimalkan perannya dalam menyediakan pelayanan publik yang membutuhkan dana besar, termasuk pendidikan. Pencabutan pembiayaan di sektor pelayanan publik termasuk pendidikan ini untuk memudahkan negara-negara pengutang membayar utangnya dengan lancar. Pengurangan subsidi ini telah menjadi syarat pemberian utang oleh Bank Dunia dengan skema SAP (Structural Adjustment Project). Pada saat yang sama, kekayaan alam di negeri ini—yang seharusnya menjadi sumber utama pemasukan negara—justru ’dipersembahkan’ kepada penjajah asing seperti ExxonMobil, Freeport, Unocal, Caltex, Shell, dan sebagainya.

Jadi akar masalah yang sebenarnya adalah hilangnya peran negara, kalau kita cermati dampak buruk dari hilangnya peran negara adalah Pertama, terjadinya ’lingkaran setan’ kemiskinan. Tidak terjangkaunya biaya pendidikan akan menyebabkan banyaknya generasi umat yang gagal mengembangkan potensi dirinya sehingga mereka tetap dalam kondisi miskin dan bodoh padahal kita tentunya telah meraba begitu banyak anak-anak di luar sana yang memiliki potensi yang jika dikembangkan akan sangat bermanfaat, tentu kita belum lupa tokoh Lintang dalam film laskar pelangi, entah berapa banyak lagi Lintang-Lintang lain yang memiliki potensi luar biasa, potensi untuk berkompetisi seketika itu juga terhalangi oleh karena biaya pendidikan yang makin mencekik. Selain itu, pendidikan berkualitas hanya bisa dinikmati oleh kelompok masyarakat dengan pendapatan menengah ke atas. Mereka dengan pendapatan menengah ke bawah akan putus sekolah di tingkat SD, SMP, atau paling tinggi SMU. Padahal sekolah dapat menjadi pintu perbaikan kompetensi masyarakat agar mereka mampu merancang perbaikan taraf hidupnya. Tidak hanya itu, kompetensi masyarakat juga sangat berguna bagi SDM di bumi pertiwi ini.

Kedua, gencarnya penjajahan Kapitalisme di Indonesia. Sebagaimana diketahui, kunci utama untuk keluar dari penjajahan dan menuju kebangkitan adalah peningkatan taraf berpikir bangsa. Pendidikan merupakan unsur penting dalam peningkatan taraf berpikir bangsa tersebut. Sumberdaya alam (SDA) yang melimpah di suatu negara menjadi tidak berfungsi optimal manakala tidak didukung dengan SDM yang terdidik. Kondisi SDA Indonesia saat ini mulai menciut. Jika ditambah dengan SDM yang tidak terdidik maka nasib Indonesia akan semakin tenggelam dalam cengkeraman negara-negara kapitalis dalam rentang waktu yang sangat panjang.

Dari analisis yang saya rangkum, saya dengan tegas menyatakan RUUBHP bukanlah solusi untuk meningkatkan mutu pendidikan. Justru hal ini akan memunculkan masalah baru yang lebih pelik, misalnya terjadinya ”lingkaran setan” kemiskinan, minimnya SDM, meningkatnya jumlah pengangguran, meningkatnya jumlah anak jalanan, dan lain-lain. Jika kita ingin menyelesaikan masalah maka kita sebaiknya mencabut akar permasalahan yang ada. Apakah akar permasalahan itu? Hilangnya peran negara, mengapa bisa hilang? Karena ancaman penjajahan kapitalisme di Indonesia yang semakin memborok, jika hal ini terus dan terus merangsang lahirnya kebobrokan yang akan membunyikan lonceng kematian di bumi pertiwi ini lebih nyaring maka bumi pertiwi ini akan diambang kehancuran. Fakta di atas hanyalah salah satu dari sekian banyak fakta dari kebobrokan kebijakan-kebijakan yang lahir dari sistem kapitalisme. Sekarang Apalagi yang tersisa, jika pendidikan, ekonomi, sosial-budaya, semuanya berada di detak-detik kehancurannya.

By :

Yusmaindah Jayadi

Fakultas Kesehatan Masyarakat

Jurusan Ilmu Gizi

2008

Universitas Hasanuddin





1 komentar:

  1. asiyah.. bisaQ jadi penulis... saya suka gaya penulasannya...

    tdk tau mau komen apa ttg RUUBHP... saya selalu pusing klo berbicara mengenai masalah yg satu ini... ckckckck..

    BalasHapus

Tafaddal...insya Allah akan sangat membantu...Kawan