Senin, 19 Oktober 2009

Korban Kebobrokan Sistem

Aku masih terdiam di Mushalla Aididdin, ada jadwal pengajian sekaligus diskusi pendidikan hari ini pukul 10 pagi, tetapi sepuluh menit berlalu, Kak Atiqa selaku pembina dan kawan-kawan kelompok pengajian tak muncul batang hidungnya. Aku memilih untuk menunggu lagi, target akhir menungguku adalah sekitar lima menit ke depan. Tepat di sisi pojok kanan mushalla, Kak Ifa dan kelompok pengajiannya sedang membuka majelis ilmu, mereka tampak serius membicarakan kebobrokan sistem sekarang, akupun tanpa basa-basi menyimak diskusi mereka. Keasyikan mengarungi pembicaraan mereka, aku sampai lupa pada target waktu menungguku, segera kuhubungi kak Atiqah meminta penjelasan.

Telepon kak Atiqah sama sekali sulit untuk dihubungi, tut..tut ( tanda sibuk ) atau berada di luar service area, aku jadi tidak sadar mengumpat, seketika itu juga istigfarku mengikuti dan berusaha menghapus umpatanku.

“ Halo Assalamu’alaikum…,” sahut Kak Atiqah di seberang, Alhamdulillah.

“ Wa’alaikum salam kak…..” kataku dengan nada riang.

“ kenapa dek?”

Aku jadi bingung kok malah bertanya? waduh jangan-jangan kakak lupa, tapi kok kompakan banget sama teman pengajian yang lain.

“ Lho ka’, bukannya hari ini kita pengajian sekaligus diskusi pendidikan?”

“ Oh…ad’ tidak terima smsku yach? begini dek, Rini ke Soppeng, Ulwi di Rumah Sakit dan Afra sudah punya janji sama adik-adiknya ada kegiatan mendadak katanya, jadi pengajian sekaligus diskusi pendidikan kita batal, afwan yach dek ” jelas kak Atiqa lembut.

“ Hm…kak bisa tidak saya dan kak Mariani pengajian hari ini di rumahnya kak Tsabita soalnya saya takut hari-hari lain orang tua tidak mengizinkan,” balasku memelas, tampak sekali aku adalah hamba Allah yang haus ilmu, haussss sekali. Kak Atiqa sangat senang mendengar penuturanku, do’a terus mengalir dari bibirnya, tak lupa dia mengingatkan aku agar menjemput kak Mariani dulu sebelum ke rumah kak Tasbita, aku iyakan sekalian salam untuk mengakhiri pembicaraan kami, kak Atiqah menjawab salamku.

Tanpa menunggu dikomando segera ku-on dan kustater teman baikku, Vega Biru, berjalan menyusuri jembatan kembar menuju Mangalli, daerah tempat tinggal Kak Mariani. Sambil mengendarai teman baikku, aku menyanyikan lagu kesukaanku “ Laizzata ila bi islam “.

Tak lama teman baikku yang akrab kusapa VeBu ( Vega Biru ) telah terparkir di sisi kiri rumah kak Mariani. Rumahnya tampak sederhana, bersih, dan nyaman, ada sumur di sampingnya dan ada dua kursi kecil di terasnya, lega rasanya jika berada di rumah tersebut.

“Assalamu’alaikum,” sahutku pada seorang wanita yang sedang sibuk menjemur pakaian, pasti ibunya kak Mariani, gumamku.

“ Wa’alaikum salam,” jawabnya lantang sambil memperbaiki letak sarungnya.

“ Kak Mariani ada bu..?,” tanyaku sopan.

“ Oh…pengajian yach, tadi Mariani menunggu kabar pengajian, tapi karena kabar tak kunjung datang, dia lalu pergi dengan adiknya ke pengantin di desa sebelah, ayo masuk dulu ” ceplos ibunya sambil mempersilahkan aku untuk masuk.

Aku berniat menunggu karena ibunya mengatakan pasti tak lama lagi kak Mariani datang soalnya perginya sudah cukup lama. Aku menunggu di teras dan duduk di sebuah kursi kecil. Sementara gerimis terus mewarnai daerah Mangalli, untung tidak gerimis di jalan, gumamku. Sembari menunggu kedatangan kak Mariani, ibu yang kelihatan tidak sehat tersebut dengan ramah mengajakku ngobrol, beliau ngobrol tentang keadaan keluarganya.

“ Bapak Mariani sakit beberapa hari ini, nafasnya selalu tersengal-sengal sehingga dia tidak kerja sementara waktu, tetapi anakku yang cerewet, Imma, adiknya Mariani, protes pengen makan ikan, karena kasihan, bapak memaksakan dirinya untuk kerja pagi ini, ke pasar mencari ikan,” jelasnya panjang. Aku hanya tersenyum iba sembari memandang lekat kepada ibu yang kira-kira berusia empat puluh tahun keatas tersebut, yang kupandangi berbalik memandangku, karena tak kuat dengan pandangannya yang sayu kuberalih memandang sepatu hitamku. Teringat aku akan keadaan di rumah, tak jarang ikan selalu lebih. Kalau sudah begitu yah…ikannya dipindahkan ke tempat sampah, baru-baru ini saja dua ikan yang masih utuh berpindah ke tempat sampah, gatal katanya kalau disimpan terlalu lama. Orang-orang di rumah, kalau makanan sudah tinggal lebih dari satu hari, akan diacuhkan. Aku miris sendiri melihat fakta di depanku, betapa banyak orang yang tidak bisa makan makanan yang layak, tetapi di sisi lain banyak pula orang yang seakan tidak menyadari sekelilingnya, hingga boros dan membuang makanan yang masih layak makan. Zaman sekarang memang sangat miris, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Para pejabat dengan entengnya membuang-buang makanan sedangkan rakyatnya ada yang bahkan belum makan sesuap nasipun. Hampir - hampir butiran kristal di pelupuk mataku melompat keluar tapi segera kutahan, aku tak mau menangis di depan orang, malu.

“Anakku Mariani seperti laki-laki, selama bapaknya sakit dia yang bekerja setiap hari tanpa henti, saya sendiri juga sudah tidak mampu. Berjalan jauh saja tidak mampu, hanya Mariani tulang punggung kami,” tambahnya lagi membuyarkan renunganku.

Kembali aku tersenyum seakan menjawab penjelasannya. Aku lebih memilih menjadi pendengar setia, sesekali aku mengangguk tanda mengerti akan cerita beliau.

“ Dulu, kami punya anak laki-laki, kakaknya Mariani, tetapi dia ditikam….,” sahutnya serak, matanya merah, beliau menangis, aku hanya terdiam sambil kembali memandangnya lekat sedangkan beliau mengarahkan pandangannya ke depan.

“ Waktu dia menonton di desa sebelah, dia ditikam oleh pemuda tak dikenal, sampai sekarang pemuda tak dikenal itu tak ditemukan,” tambahnya lagi sambil terus menghapus deras air matanya dengan sarungnya.

“ Apa… polisi tidak menangani bu…?” tanyaku hati-hati, tak ingin aku menambah goresan kenangan kepedihan dihatinya, maka aku bicara seperlunya itupun dengan nada hati-hati.

“ Waktu mayatnya sampai ke rumah diikuti oleh beberapa polisi, seketika itu juga polisi mengatakan agar memberikannya uang jika ingin pelakunya ditemukan, jelas saja kami tidak memberinya, waktu itu kami tidak punya uang. Entahlah itu polisi apa, kami sudah sedih anak kami terbunuh, dia malah menambah beban kami, kami waktu itu hanya pasrah, mungkin sekarang pelakunya enak-enak bebas sementara kami kehilangan anak kami,” serak yang semakin mendalam seakan mengumpat petugas keamanan itu membuat mata ibu di depanku merah geram bercampur sedih, aku semakin tak kuat melihatnya.

“ sabar bu..,” sahutku pelan, pikiranku kembali mengembara entah kemana seperti hendak mencari sesuatu yang hilang, akupun tak tahu harus berbuat apa, yang kutahu saat itu aku menahan sesak di dadaku yang semakin membuncah.

“ Kalau ingat anakku itu, saya selalu saja menangis, bahkan anakku yang cerewet selalu mengatakan, ah ibu menangis lagi…,kenapa menangis bu….?. Saya selalu menjawab tidak apa-apa nak. Anakku yang meninggal itu sangat baik dek, setiap pulang kerja, saya selalu dicarinya, saya ingat dia selalu mengatakan Ibu nih saya dapat lagi..ibu bisa membeli beras dengan uang ini. Hu…hu…,” jelasnya sambil terus terisak, aku sendiri terpekur menahan sesak dan air mata yang selalu meminta dikeluarkan, aku hanya bisa terus merunduk menatap buku catatan kecil dihadapanku. Tadinya aku hanya ingin menulis pesan untuk kak Mariani karena telah lama menunggu, namun kini aku lebih memilih untuk mendengarkan kisah yang sangat mengharukan dari seorang wanita di hadapanku. Kisah yang semakin menyadarkan kita akan kebobrokan sistem kapitalisme.

Tak lama kami berdua larut dalam kesedihan masing-masing, beliau sedih mengingat anaknya dan aku sendiri sedih akan semakin banyaknya korban dari sistem sekarang, korban sistem yang menilai segalanya dengan materi, bahkan ketika nyawa terenggutpun masih ada saja orang yang tidak berperikemanusiaan memanfaatkan hal tersebut untuk mencari keuntungan. Kami merayap dalam keheningan masing-masing, ibu di hadapanku nampaknya telah berhenti terisak meski matanya masih basah, bersamaan dengan itu seorang laki-laki memakai baju kaos dan celana pendek dengan topi yang menutupi ubannya, mengayuh lemah sepedanya menuju ke arah kami, nampaknya ia sangat lelah menantang gerimis saat itu. Umurnya sudah sangat tua, namun senyumnya tetap merekah, bapaknya kak Mariani.

“ Ini lho temannya Mariani, dimana tempat pengantinnya pak, kenapa Mariani lama pulangnya?” tanya ibunya kak Mariani sambil beranjak memperbaiki jemurannya.

“ Dekat dari sini, tidak lama dia pasti pulang,” jawab beliau sambil menyandarkan sepedanya di sisi rumah dekat sumur. Dia memandang kearahku. Aku berdiri dan sedikit merunduk tanda hormatku kepadanya, beliaupun duduk di tempat aku duduk tadi.

“ Duduk…,” perintahnya sambil tersenyum, nampak wajahnya yang kelelahan, nafasnya tersengal-sengal. Akupun duduk di tempat ibunya kak Mariani duduk tadi. Sedang ibu kak Mariani sibuk mengolah ikan yang dibawa oleh suaminya.

“ Sudah lama ?” tanyanya sambil menghapus sisa-sisa gerimis di wajahnya.

“ Baru pak…,” jawabku sambil tersenyum. Keheninganpun menyapa kembali, sembari menunggu kak Mariani, iseng kumenulis puisi di buku catatan kecil yang kupegang sedari tadi, sebuah puisi bahasa hati.

Samar kupandang

Setiap tetes keringatnya

Untuk sesuap nasi demi keluarganya

Terengah-engah mengayuh roda dua tak bermesin

Memaksakan diri di akhir umur

Kembali zaman kapitalisme mengirimkan kebobrokannya

Kembali zaman sekularisme membagi derita tanpa ampun

Hanyalah harapan yang melambai

Agar Pejuang Islam kokoh

Terus berjuang

Demi tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah

Mengakhiri derita yang mendarah daging

Mewarnai indahnya pagi berhiaskan takbir

Berhiaskan senyum

“ Apa nda sebaiknya bapak memanggil Mariani pulang…,” saran ibu kak Mariani sambil terus mengolah ikan di hadapannya.

Wajah bapak kak Mariani berkerut.

“ Yah…saya ini sudah tidak seperti dulu…. walau jaraknya dekat nafasku seperti susah diatur..,” sahutnya sambil memandang ke arahku seraya tersenyum.

“ Nda papa pak, saya menunggu saja…,” kataku sambil menjawab senyumnya. Walau waktu semakin menghunus, aku berpikir semua bisa diatur belakangan. Bapak kak Mariani tampak selalu menengok ke depan, berharap kak Mariani cepat datang, mungkin beliau juga tidak enak karena aku sudah menunggu lama.

“ Itu mereka datang…..,” sahut bapak kak Mariani. Aku tersenyum.

Tampak dari kejauhan sesosok tegar memegangi payung besar dengan dua orang anak kecil mendampinginya mendekat, kak Mariani dan kedua adiknya. Kak Mariani tersentak dan tersenyum kepadaku, nampaknya ia terkejut aku datang.

“ Aku kira..kita tidak ngaji…,” kata kak Mariani sambil menatapku dengan mata sendunya.

“ Ngaji kak, di rumahnya kak Tsabita,” jawabku sembari tersenyum.

Dia tersenyum dan beranjak hendak bersiap-siap, seketika itu aku memandangi gadis kecil memakai jilbab ungu dan kerudung hijau sedang berusaha membuka sesuatu di dalam tasnya, dia tampak kesal ketika seorang anak laki-laki ingin merebut tasnya.

“ Biar bapak dulu yang matan tuenya biar nanti setelah bapak baru tata,” cuap cadelnya sambil menawarkan ke arah ayahnya. Lekat kupandang ayah kak Mariani menyungging senyum sambil bertanya, Apa ini?

Setelah bersiap, kak Marianipun pamit, aku juga pamit sambil mencium kedua tangan orang tua kak Mariani dengan takzim. Kepergian kami diiringi oleh cuap cadel Imma, agaknya dia terus bertanya, mau kemana kak Mariani? Aku tersenyum saja, sungguh anak kecil itu menggemaskan. Tak lama deruan teman baikku mengantarkan kami berdua menuju rumah kak Tsabita, di perjalanan aku merenungi segalanya. Merenungi betapa beruntungnya aku hidup berkecukupan, merenungi betapa tegarnya kak Mariani menghadapi ini semua dan terus merenungi betapa bobroknya sistem sekarang, kak Mariani dan sederet fakta lainnya adalah bukti nyata kebobrokannya. Air mata yang tertahankan tadi kini membuncah, tersembunyi dibalik helmku, aku berusaha menyembunyikannya.

Ya Allah istiqomahkanlah kami untuk terus berjuang di jalanMu, agar Daulah Khilafah Islamiyyah sebagai janjimu yang pasti, segera tegak, kuatkanlah kak Mariani dan sederet tokoh lainnya yang memiliki beban hidup yang sulit. Hanyalah pertolonganMu ya Allah…hanyalah pertolonganMu….Do’aku dalam hati ditemani cucuran air mataku yang semakin deras.

1 komentar:

  1. Subhaanalloh.....ukh ceritanya wallahu a'lam kisah nyata ato pun tidak yang jelas ana sangat terkagum kagum membacanya

    jadi teringat wajah Ibu dan Bapakku di rumah......

    mmmmm apa yach, cuma bisa prihatin dengan sistem pemerintahan yang tak henti2nya hanya mengurusi masalah politik yang seharusnya ada yang lebih penting untuk dipikirkan yakni rakyat kecil sepertinya, seperti mereka, dan mungkin sepertiku.....

    Huff, Semoga Allah Azzawajallah tidak menurunkan azab-Nya kepada kita karena kebobrokan bangsa kita

    Semoga kita bisa terus Istiqomah di atas Dien ini.....

    Wassalam

    BalasHapus

Tafaddal...insya Allah akan sangat membantu...Kawan