Rabu, 21 Oktober 2009
Perlu paradigma baru untuk menanggulangi masalah gizi makro di Indonesia
Oleh : Prof.Dr. Soekirman
Guru Besar Ilmu Gizi / Kepala Pusat Studi Kebijakan Pangan
dan Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB)
Prof. M. Gabr, guru besar ilmu kesehatan anak dan gizi dari Universitas Kairo, menyatakan bahwa abad ke-20 adalah “the Golden Age for Nutrition” atau “Abad Emas” bagi pergizian dunia. Pendapat tersebut disampaikan pada kuliah perdana Kongres Ke-VII Asosiasi Gizi se Dunia (IUNS) di Vienna, Austria tgl.27 sampai 29 Agustus 2001. Abad ke-20 adalah abad ditemukannya hampir semua zat gizi makro dan mikro. Kebutuhan gizi manusia ditetapkan. Hubungan antara gizi dan kesehatan didokumentasikan. Dampak negatif dari masalah gizi-kurang dan gizi-lebih makin diketahui dengan lebih baik, dan sebagainya.
Bidang pertanian juga mencatat “revolusi hijau” dan terakhir teknologi rekayasa genetik yang berperan dalam peningkatan produksi dan kualitas pangan. Sejalan dengan itu berbagai intervensi gizi telah menjadi program nasional di banyak negara. Secara global intervensi gizi berperan penting dalam upaya penurunan angka kematian bayi. Di banyak negara berkembang intervensi berhasil menurunkan prevalensi KEP, kurang vitamin A, dan kurang yodium.
Dibalik “cerita” sukses, abad ke-20 masih mencatat sisi gelap dalam hal masalah gizi. FAO memperkirakan tahun 1999 sekitar 790 juta penduduk dunia kelaparan. Sekitar 30 persen penduduk dunia yang terdiri dari bayi, anak, remaja, dewasa, dan manula, menderita kurang gizi. Hampir separo (49 persen) kematian balita berkaitan dengan masalah kurang gizi (gizi kurang). Dalam waktu yang sama, dunia maju menghadapi epidemi masalah kelebihan gizi (gizi lebih) dalam bentuk obesitas dan penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, hipertensi, stroke dan diabetes.
Bahwa masalah gizi kurang dan gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, saya kira sudah disadari oleh pemerintah dan masyarakat, khususnya di kalangan kesehatan. Hanya saja kita di Indonesia masih terlalu memusatkan perhatian pada masalah gizi makro terutama dalam hal KEP seperti halnya puluhan tahun lalu. Pada hal penelitian gizi terkini juga menunjukkan makin seriusnya masalah gizi mikro terutama kurang zat besi, zat yodium, zat seng (Zn), dan kurang vitamin A. Kita juga masih menekankan pada masalah gizi anak balita (bawah lima tahun), padahal masalah lebih gawat pada anak dibawah tiga tahun dan dua tahun. Sangat sedikit penelitian dan data mengenai masalah gizi lebih yang juga mulai mengancam penduduk yang ekonominya maju. Saya tidak akan menyajikan angka mengenai berbagai masalah gizi di Indonesia karena hal tersebut dibahas dan disajikan pada makalah lain.
Meskipun selama 10 tahun terakhir terdapat kemajuan dalam penanggulangan masalah gizi di Indonesia, tetapi apabila dibanding dengan beberapa negara Asean seperti Thailand, prevalensi berbagai masalah gizi khususnya gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Perlu dipertanyakan mengapa kita tertinggal dengan negara-negara tetangga. Salah satu sebab, menurut hemat saya adalah adanya perbedaan paradigma dalam kebijakan program gizi. Paradigma adalah model atau pola pikir menghadapi suatu hal atau masalah.
Sebagai contoh Thailand. Pada tahun 1982 lebih dari separo anak balita Thailand bergizi kurang atau buruk (underweight). Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun Thailand sudah dinyatakan oleh berbagai badan PBB sebagai negara yang bebas gizi-buruk (BB/U < - 3SD). Prevalensi gizi kurang (diantara minus 3SD dan minus 2SD) juga berkurang secara nyata. Seperti halnya di Indonesia, masalah kurang vitamin A klinik (Xeropthalmia) juga telah diberantas. Angka kematian ibu melahirkan turun drastic dari 230 tahun 1992 menjadi 17 per 100.000 tahun 1996.
Salah satu kebijakan dan program gizi di Thailand memberikan perhatian besar terhadap data status gizi anak. Sejak tahun 1982 mereka mempunyai data
nasional tahunan perkembangan berat badan balita dan anak sekolah. Dalam kebijakan pembangunan nasional secara konsisten memasukkan status gizi anak sebagai salah satu indikator kemiskinan. Atas dasar perkembangan status gizi anak program gizi disusun sebagai bagian dari program penanggulangan kemiskinan. Thailand mengukur kemajuan kesejahtraan rakyatnya antara lain dengan indikator pertumbuhan berat badan anak, bukan hanya dengan berapa rata-rata persediaan atau konsumsi energi dan protein penduduk seperti yang sering kita lakukan di Indonesia. Paradigma kebijakan gizi di Thailand adalah paradigma outcome yaitu pertumbuhan anak dan status gizi.1 Sedang kita masih lebih banyak mengetrapkan paradigma lama yang berorientasi pangan atau makanan.
Paradigma baru bertitik tolak pada indikator kesehatan, dan kesejahteraan rakyat yaitu angka penyakit dan angka kematian bayi dan ibu melahirkan. Oleh karena menurut WHO (2000) 49 persen kematian bayi terkait dengan status gizi yang rendah, maka dapat dimengerti apabila pertumbuhan dan status gizi termasuk indikator kesejahteraan seperti ditrapkan di Thailand.
Paradigma baru menekankan pentingnya outcome daripada input. Persediaan pangan yang cukup (input) di masyarakat tidak menjamin setiap rumah tangga dan anggota memperoleh makanan yang cukup dan status gizinya baik. Banyak faktor lain yang dapat mengganggu proses terwujudnya outcome sesuai dengan yng diharapkan. Paradigma input sering melupakan faktor lain tersebut, diantaranya air bersih, kebersihan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar.
Dalam makalah ini akan dibahas apa dan bagaimana paradigma baru untuk program gizi yang mendorong dipakainya pola pertumbuhan dan status gizi anak sebagai salah satu indikator kesejahteraan. Oleh karena paradigma program gizi terkait dengan pemahaman akan arti istilah gizi dan masalah gizi,
Ada perbedaan antara pertumbuhan anak dan status gizi anak. Pertumbuhan anak adalah indikator dinamik yang mengukur pertambahan berat dan tinggi/panjang anak. Dari indikator ini dapat diikuti dari waktu kewaktu kapan terjadinya penyimpangan (penurunan) pertambahan berat tau tinngi badan. Status gizi merupakan indek yang statis dan agregatif sifatnya kurang peka untuk melihat terjadinya perubahan dalam waktu pendek misalnya bulanan.
maka pembahasan akan saya mulai dengan dengan pemahaman masalah gizi sebagai konsep system “input-outcome”.
Masalah gizi dalam konsep system “input-outcome”.
Gizi dan masalah gizi selama ini dipahami sebagai hubungan sebab-akibat antara makanan (input) dengan kesehatan (outcome). Pada satu pihak masalah gizi dapat dilihat sebagai masalah input, tetapi juga sebagai outcome. Dalam menyusun kebijakan harus jelas mana yang dipakai sebagai titik tolak apakah input atau outcome. Apabila masalah gizi dianggap sebagai masalah input maka titik tolak identifikasi masalah adalah pangan, makanan (pangan diolah) dan konsumsi. Apabila masalah gizi dilihat sebagai outcome, maka identifikasi masalah dimulai pada pola pertumbuhan dan status gizi anak. (lihat bagan) 13/6/2000FK-UKI SOEKIRMAN Jakarta9Gizi sebagai input-outcomeINPUT PROSES OUTCOMEMakanan di makan(dikonsumsi)Dicerna,Diserap,MetabolismePertumbuhan Sel,Pemeliharaan Sel,Memperlancar FungsiAnatomis& FaaliTubuh,Menghasilkan energiPertumbuhanStatus GiziFisik & Mental/Kecerdasan,ProduktivitasMorbiditasKesehatanMakananGizi sebagai InputGizi sebagai Outcome
Selama kebijakan program gizi mengikuti paradigma input, maka indikator masalah gizi akan mengikuti indikator agregatif pertanian dan ekonomi makro seperti produksi, persediaan (impor-ekspor), harga dan konsumsi pangan rata-rata. Indikator makro ini memberi gambaran masalah gizi rata-rata rumah tangga dan orang dewasa. Hukum Bennet misalnya memprediksi apabila pendapatan rata-rata rumah tangga meningkat akan diikuti perbaikan kualitas makanan (orang dewasa). Proporsi energi dari sumber karbohidrat menurun dan dari sumber lemak dan protein meningkat.
Hukum Bennet tidak dapat menggambarkan apa yang terjadi pada diri anggota keluarga, terutama anak dan wanita hamil, apabila terjadi peningkatan pendapatan keluarga, termasuk eksesnya bagi orang dewasa perkotaan. Peningkatan konsumsi makanan hewani sumber lemak dapat menjurus ke masalah gizi lebih. Pendekatan agregatif semacam ini, tidak menyentuh ukuran status gizi. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila pada suatu saat terjadi letusan gizi buruk pada masa persediaan pangan berlimpah. Indikator agregatif tidak akan menjangkau masalah gizi mikro.
Paradigma outcome mengukur manusia bukan pangan atau uang.
Paradigma ini memerlukan pemasyarakatan pentingnya memperhatikan berat badan baik pada anak maupun orang dewasa. Pada anak yang diperhatikan adalah pertumbuhan berat dan tinggi badan serta status gizinya. Pengertian bahwa anak sehat bertambah umur bertambah berat dan panjang perlu ditanamkan kepada setiap keluarga. Di perdesaan sudah lama diperkenalkan KMS untuk mencatat hasil penimbangan bulanan anak balita di Posyandu. Sayangnya fungsi Posyandu beberapa tahun terakhir ini tidak menentu arahnya. Penimbangan berat badan anak sebagai kegiatan pokok Posyandu menjadi kegiatan sampingan dan tidak jelas manfaatnya.
Menurut hemat saya meletusnya “wabah” gizi-buruk pada saat krisis ekonomi tahun 1997 dan 1998 sebenarnya dapat dicegah apabila kegiatan penimbangan di Posyandu berfungsi seperti keadaan tahun 1970 dan 1980-an. Pada masa itu kualitas pelayanan Posyandu menjadi kebanggaan nasional dan internasional.
Untuk orang dewasa paradigma outcome menekankan pentingnya orang mencapai berat badan ideal dan mempertahankanya. Pesan itu menjadi pesan pertama dalam Pedoman Gizi Seimbang Amerika tahun 2000. Baru kemudian menyusul pesan lain bagaimana mengatur dan memilih makanan untuk mempertahankan berat badan.
Kesimpulan
Kelambanan Indonesia menangani masalah gizi makro dalam bentuk gizi kurang dan gizi buruk menurut pendapat saya ada kaitannya dengan kebijakan program gizi kita yang masih mengedepankan pangan, makanan dan konsumsi sebagai penyebab utama masalah gizi. Kebijakan ini cenderung mengabaikan peran faktor lain sebagi penyebab timbulnya masalah gizi seperti air bersih, kebersihan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar. Akibatnya program gizi lebih sering menjadi program sektoral yang masing-masing berdiri sendiri dengan persepsi berbeda mengenai masalah gizi dan indikatornya. Kebijakan ini dalam makalah ini saya sebut sebagai kebijakan dengan paradigma input.
Salah satu kelemahan paradigma input bagi program perbaikan gizi adalah digunakannya indikator agregatif makro seperti persediaan energi dan protein perkapita. Indikator ini tidak dapat menggambarkan keadaan sesungguhnya diri individu anggota keluarga terutama anak dan wanita. Paradigma ini tidak mengenal indikator pertumbuhan anak dan status gizi yang mengukur “the real thing”.
Sudah saatnya indikator pertumbuhan dan status gizi anak menjadi salah satu indikator kesejahteraan. Untuk itu program gizi memerlukan pendekatan paradigma baru, yang didalam makalah ini saya namakan paradigma outcome. Dengan paradigma ini beberapa hal dibawah ini memerlukan perhatian lebih besar dalam program gizi .
Pertama, dalam menangani masalah gizi makro, khususnya kurang energi protein, titik tolak kebijakannya terletak pada adanya pertumbuhan dan status gizi anak yang tidak normal. Dengan demikian tujuan program adalah memperbaiki pola pertumbuhan anak dan status gizi anak dari tidak normal menjadi normal atau lebih baik. Oleh karena pola pertumbuhan dan status gizi anak tidak hanya disebabkan oleh makanan, maka pendekatan ini mengharuskan program gizi dikaitkan dengan kegiatan program lain diluar program pangan secara konvergen seperti dengan program air bersih dan kesehatan lingkungan, imunisasi, penyediaan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan. Dengan program yang bersifat terintegrasi seperti
7
itu, program gizi akan rasional untuk menjadi bagian dari pembangunan nasional secara keseluruhan. Kebijakan ini pada dasarnya telah diberlakukan pada Repelita II sampai VI dalam Bab Pangan dan Gizi. Sayangnya banyak kebijakan Repelita yang lalu tidak terlaksana dengan semestinya.
Kedua, kegiatan pemantauan berat badan dan tinggi badan anak balita dan sekolah akan menjadi modal utama bagi program gizi. Survei gizi nasional secara periodik dan terprogram seharusnya menjadi kebijakan nasional seperti dilakukan di Thailand dan di banyak negara lain. Pelaksanaannya dapat melalui Susenas atau lembaga lain yang ada. Kegiatan ini perlu didukung oleh sistem pemantauan status gizi anak yang representatif mewakili daerah-daerah yang tidak terjangkau survey gizi nasional.
Ketiga, revitalisasi Posyandu dikatakan berhasil apabila dapat mengembalikan fungsi utamanya sebagai lembaga masyarakat, terutama masyarakat desa untuk memantau pertumbuhan anak. Kegiatan pendidikan dan pelatihan pada ibu-ibu bagaimana menimbang dan mencatat di KMS pertumbuhan berat badan anak serta dapat mengartikan KMS dengan baik, merupakan kunci keberhasilan revitalisasi Posyandu. Kegiatan penimbangan diutamakan pada anak dibawah tiga atau dua tahun sesuai dengan perkembangan masalah yang diketahui dari hasil penelitian mutakhir. Tolok ukur lain keberhasilan revitalisasi posyandu ialah mengkoreksi kesalahan para petugas gizi dan kesehatan yang selama ini dilakukan yang menggunakan KMS sebagai catatan status gizi. Konsep penyimpangan pertambahan dari batas normal atau “growth faltering” sudah waktunya diajarkan dan latihkan kepada petugas gizi dan kesehatan serta kader.
Keempat, secara bertahap perlu ada “perombakan” kurikulum di lembaga pendidikan tenaga gizi di semua tingkatan untuk lebih memahami perlunya paradigma baru yang berorientasi pertumbuhan dan status gizi anak sebagai titik tolak dan tujuan program.
8
Kepustakaan
1. Gabr, M. 2001. IUNS in the Twenty Century on the shoulders of the Twentieth Century giants of Nutrition. VIIth International Congress of Nutrition 27-29 Agustus 2001.
2. WHO.2000.Nutrition for Health and Development.WHO, Geneva;
3. Unicef.2000.The State of the World’s Children 2000. Unicef,
New York.
4. ACC/SCN. 2000. Fourth Report on The World Nutrition Situation. WHO, Geneva
5. Departemen Kesehatan. 2001. Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional 2001-2005
6. Carriere, R.C. 2000. Revitalizing and Optimizing Posyandu. Growth Monitoring and promotion. Makalah. Unicef. Jakarta.
7. Griffiths, M., Dickin, K.,Favin, M. 1996. Promoting the Growth of Children : What Works. Rationale and Guidance for Programs. The World Bank. Washington.
8. Andersen. P.P, Pellettier, D., dan Alderman,H. (Edit). 1995. Child Growth and Nutrition Development in Developing Countries. Cornell University Press. Ithaca New York
9. Web : www.gizi.net dan linknya.
SITUASI KESEHATAN, GIZI DAN ISSUE KEBIJAKAN MEMASUKI MILENIUM KETIGA
Hasil sementara Sensus Penduduk tahun 2000 memperkirakan jumlah penduduk 203.456.005, dengan laju pertumbuhan penduduk 1990-2000 adalah 1,35 (BPS, 2001). Dari total penduduk tersebut, diperkirakan proporsi balita adalah 8.88%, usia reproduktif 15-49 tahun: 55,28% (perempuan), dan 54,86% (laki-laki). (lihat table 1). Uraian berikut ini dikaitkan dengan analisis situasi, issue serta kebijakan tentang kesehatan dan gizi. Informasi dari Sensus Penduduk ini menjadi penting dalam upaya pemerintah, khususnya kesehatan dan gizi, dalam mentargetkan kelompok rawan pada penduduk yang memerlukan intervensi.
Memasuki milenium baru, Indonesia dihadapi dengan perubahan ekonomi dan politik yang tidak menentu. Walaupun tidak merata, secara umum Bank Dunia melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif sebelum tahun 1997 (lihat figure 1: GNP per capita 1986-2000). Pertumbuhan ekonomi ini berdampak pada penurunan angka kemiskinan dari 40% tahun 1976 menjadi 11% tahun 1996 (Figure 2); penurunan kematian bayi; penurunan kematian anak 0-4 tahun; dan 25% penurunan kematian ibu. Secara statistik hal ini ditunjang pula dengan pencapaian keamanan pangan, dan pencapaian pelayanan kesehatan terutama pada ibu dan anak.
Krisis ekonomi memperlambat proses penurunan yang telah terjadi selama tiga dekade terkakhir. Krisis ekonomi menurunkan nilai rupiah yang berakibat pada merosotnya pendapatan perkapita (lihat figure 1) dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 11% tahun 1996 atau 34.5 juta orang menjadi 16.64% tahun 1999 atau 47,9 juta orang (lihat figure 2). Dampak krisis ekonomi terhadap kesehatan masyarakat dapat dilihat secara tidak langsung. Disadari secara luas bahwa dampak krisis ekonomi berdampak negatif pada status kesehatan masyarakat, akan tetapi bukti nyata secara statistik masih perlu dikaji agar tidak terjadi kontradiksi. Kenyataannya kajian perubahan morbiditas dan mortalitas pada penduduk masih dilakukan terus menerus. Diperlukan informasi data kesehatan dengan kualitas yang baik dari sistem pelayanan kesehatan dan juga survei lainnya.
Berikut ini adalah kajian kecenderungan beberapa indikator kesehatan dan gizi tahun 1990-2000, serta issue dan kebijakan untuk program kesehatan dan gizi pada masa mendatang.
ANALISA SITUASI KESEHATAN DAN GIZI
Wanita, terutama wanita usia subur/WUS, bayi dan anak balita adalah kelompok rawan pada penduduk yang selalu harus menjadi perhatian. Indonesia tidak mempunyai ‘vital statistic’ yang dapat dilakukan untuk menghitung angka kematian ibu. Biasanya dilakukan estimasi berdasarkan survei yang ada seperti Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Dari analisis SDKI 1991, 1994 diperkirakan Angka Kematian Ibu (AKI) adalah 390 per 100,000 kelahiran hidup untuk periode 1989-1994, dan 334 pada periode tahun 1992-1997. Sebelum tahun 1997, Pemerintah Indonesia mentargetkan penurunan AKI ini dari 450 (1995) menjadi 225 (1999). Melihat variasi AKI di lima provinsi dari analisis SKRT 1995 yang menunjukkan AKI antara 1025 (Irian), 796 (Maluku), 686 (Jawa Barat), 554 (NTT) dan 248 (Jawa Tengah), diasumsikan AKI masih sangat bermasalah memasuki milenium ketiga ini (Sumantri, et.al, 1999).
Untuk kelompok bayi dan anak yang dipantau perkembangannya, ada peningkatan yang cukup baik, akan tetapi angkanya masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Filipina dan Thailand. Walaupun terjadi penurunan angka kematian bayi dan balita, masih diperkirakan dari 4 juta anak yang lahir di Indonesia, 300.000 diantaranya meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun (Sumantri, 2000). – Lihat figure 3. Angka kematian bayi dan anak ini bervariasi cukup lebar antar provinsi. Dijumpai 23 kematian bayi per 1000 lahir hidup di Jogjakarta dan 111 kematian bayi per 1000 lahir hidup di NTB, hal yang sama terjadi juga untuk kematian balita (Sumantri, 2000).
Masalah gizi kurang, terutama pada anak balita dikaji kecenderungannya menurut Susenas. Pada tahun 1989, prevalensi gizi kurang pada balita adalah 37.5% menurun menjadi 24,7% tahun 2000. Walaupun terjadi penurunan prevalensi gizi kurang, yang menjadi pusat perhatian adalah penderita gizi buruk pada anak balita, yang terlihat tidak ada penurunan semenjak tahun 1989. Pada tahun 1989, prevalensi gizi buruk anak balita adalah 6.3%. Prevalensi ini meningkat menjadi 11,56% pada tahun 1995 dan menurun menjadi 7,53% pada tahun 2000 (Direktorat Gizi, 2001). Berdasarkan hasil sementara SP 2000, maka diperkirakan jumlah penderita gizi buruk pada balita adalah 1.520.000 anak, atau 4.940.000 anak menderita gizi kurang. (lihat figure 4).
Masih tingginya prevalensi gizi kurang pada anak balita berhubungan dengan masih tingginya bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR). Prevalensi BBLR ini masih berkisar antara 7 sampai 14% pada periode 1990-2000. (Lihat figure 5). Akibat dari BBLR dan gizi kurang pada balita berkelanjutan pada masalah pertumbuhan anak usia masuk sekolah. Berdasarkan hasil pemantauan tinggi badan anak baru masuk sekolah (TBABS), diketahui bahwa prevalensi anak pendek tahun 1994 adalah 39,8%. Prevalensi ini turun menjadi 36,1% pada tahun 1999. Anak yang terpantau dari TBABS adalah anak usia 5-9 tahun. Jika jumlah anak 5-9 tahun menurut SP 2000 diperkirakan 21.777.000, maka 7.800.000 anak usia baru masuk sekolah mengalami hambatan dalam pertumbuhan. Masalah gizi kurang pada anak berkelanjutan pada wanita usia subur, yang akan melahirkan anak dengan risiko BBLR disertai dengan masalah anemia dan gizi mikro lainnya. Dari kajian Susenas, proporsi wanita usia 15-49 tahun dengan Lingkar Lengan Atas (LILA <23.5 cm) adalah 24,9% tahun 1999 dan 21,5% pada tahun 2000 (Lihat Figure 6 dan 7). Proporsi ini sama dengan 13.316.561 wanita usia subur diperkirakan mempunyai risiko kurang energi kronis. Terlihat juga bahwa wanita usia subur, khususnya pada kelompok yang paling produktif: usia 15-19, 20-24 dan 25-29 tahun, mempunyai proprosi LILA <23.5% yang tertinggi.
Masalah gizi lainnya yang cukup penting adalah masalah gizi mikro, terutama untuk kurang yodium dan zat besi. Pada tahun 1980, prevalensi gangguan akibat kurang yodium (GAKY) pada anak usia sekolah adalah 30%, prevalensi ini menurun menjadi 9,8% pada tahun 1998. Walaupun terjadi penurunan yang cukup berarti, masih dianggap masalah kesehatan masyarakat, karena prevalensi di atas 5%. Prevalensi tersebut bervariasi antar kecamatan, masih dijumpai kecamatan dengan prevalensi GAKY di atas 30% (daerah endemik berat). Berdasarkan prevalensi tersebut, diperkirakan 10 juta penduduk menderita GAKY, dan kemungkinan 9000 bayi lahir dengan kretin. Masalah berikutnya adalah anemia gizi akibat kurang zat besi. Kajian Survei Kesehatan Rumah Tangga (1995) menunjukkan bahwa prevalensi anemi pada ibu hamil adalah 50,9%, pada wanita usia subur 39,5%, pada remaja putri 57,1%, dan pada balita 40,5%.
Faktor penyebab dari tingginya kematian ibu, bayi dan anak ini tidak lain disebabkan karena belum memadainya pelayanan kesehatan masyarakat dan keadaan gizi, diluar faktor pencetus lainnya yang memperkuat masalah ini seperti kemiskinan dan tingkat pendidikan. Akibat yang terlihat dari kemiskinan adalah masih dijumpai hampir 50% rumah tangga mengkonsumsi makanan kurang dari 70% terhadap angka kecukupan gizi yang dianjurkan (2200 Kkal/kapita/hari; 48 gram protein/kapita/hari). Kita ketahui Human Development Index pada tahun 2000 yang dilaporkan oleh UNDP adalah 109 untuk Indonesia, tertinggal jauh dari Malaysia, Filipina dan Thailand. Masih tingginya masalah gizi, akan berpengaruh nyata terhadap tingkat pendidikan dan pendapatan per kapita. Rendahnya kondisi gizi akan berakibat pada rawannya penyakit infeksi dan semakin tinggi pengeluaran terhadap kesehatan. Krisis ekonomi yang berkepanjangan akan berdampak lebih nyata pada masalah kesehatan dan gizi penduduk.
ISSUE STRATEGIS, STRATEGI DAN KEBIJAKAN
Memasuki milenium ketiga, pelayanan kesehatan masih difokuskan pada pelayanan pada orang sakit dan kurang gizi. Rendahnya alokasi yang diberikan untuk pelayanan kesehatan masyarakat memperburuk situasi yang ada. Indonesia masih dihadapi pada rendahnya rasio dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk memberikan pelayanan kesehatan, ditambah fasilitas kesehatan (rumah sakit dan puskesmas) yang juga masih jauh dari optimal.
Semenjak terjadi krisis ekonomi 1997, banyak upaya yang dilakukan untuk mempertahankan situasi kesehatan dan gizi masyarakat, terutama pada kelompok rawan. Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) yang mulai dioperasionalkan tahun 1998 melakukan upaya pelayanan kesehatan dasar, kesehatan ibu/safemotherhood dan gizi, terutama untuk penduduk miskin. Upaya yang telah dilakukan antara lain:
1. Mentargetkan dan memberikan pelayanan kesehatan khusus pada keluarga miskin yang membutuhkan. Pemilihan keluarga miskin ini dilakukan menurut indikator yang telah disepakati bersama.
2. Memberikan pelayanan khusus seperti pemberian makanan tambahan pada balita dan ibu hamil kurang gizi.
3. Memberikan pelayanan kebidanan pada ibu hamil dengan memberdayakan bidan di desa
4. Melakukan revitalisasi Posyandu agar pemantauan pertumbuhan pada bayi dan balita tetap dilaksanakan.
5. Melakukan advokasi pada pemerintah daerah setempat untuk selalu mentargetkan dengan alokasi yang memadai untuk lokasi yang berisiko tinggi masalah gizi dan kesehatan.
6. Melakukan promosi untuk peningkatan pendidikan dan peningkatan pelayanan kesehatan dasar.
7. Mengembangkan program jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat.
8. Mengembangkan dan memperkuat sistem monitoring dan evaluasi (surveilans) untuk kepentingan daerah, terutama untuk memperbaiki kebijakan daerah terhadap pelayanan kesehatan dan gizi.
Mempelajari permasalahan yang ada dan upaya yang telah dilakukan, Indonesia mencanangkan Indonesia Sehat 2010, dengan menetapkan issue strategis yang menjadi titik tolak kebijakan intervensi atau program yang diperlukan pada saat ini dan masa yang akan datang. Issue strategisnya adalah sebagai berikut :
1. Kerjasama lintas sektor
Perubahan perilaku masyarakat untuk hidup sehat dan peningkatan mutu lingkungan sangat berpengaruh terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Selain itu, masalah kesehatan dan gizi merupakan masalah nasional yang tidak dapat terlepas dari berbagai kebijakan dari sektor lain. Peningkatan upaya dana manajemen pelayanan kesehatan tidak dapat terlepas dari peran sektor yang membidangi pembiayaan, pemerintahan dan pembangunan daerah, ketenagaan, pendidikan, perdagangan dan social budaya. Dengan demikian kerja sama lintas sektor yang masih belum berhasil pada masa lalu perlu lebih ditingkatkan.
2. Sumber daya manusia kesehatan
Mutu sumber daya manusia kesehatan sangat menentukan keberhasilan upaya dan manajemen kesehatan. Sumber daya manusia kesehatan yang bermutu harus selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan berusaha untuk mengusai IPTEK yang mutakhir. Disadari bahwa jumlah sumber daya manusia kesehatan yang mengikuti perkembangan IPTEK dan menerapkan nilai-nilai moral dan etika profesi masih terbatas. Adanya kompetisi dala era pasar bebas sebagai akibat dari globalisasi harus diantisipasi dengan peningkatan mutu dan profesionalisme sumber daya manusia kesehatan. Hal ini diperlukan tidak saja untuk meningkatkan daya saing sektor kesehatan, tetapi juga untuk membantu peningkatan daya saing sektor lain, antara lain pengamanan komoditi bahan makanan dan makanan jadi.
3. Mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan
Dipandang dari segi fisik persebaran sarana pelayanan kesehatan baik Puskesmas, Rumah sakit, maupun sarana kesehatan lainnya termasuk sarana penunjang upaya kesehatan telah dapat dikatakan merata keseluruh wilayah Indonesia. Akan tetapi persebaran fisik tersebut masih belum diikuti sepenuhnya dengan peningkatan mutu pelayanan dan keterjangkauan oleh seluruh lapisan masyarakat. Mutu pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh kualitas sarana fisik, jenis tenaga yang tersedia, obat, alat kesehatan dan sarana penunjang lainnya, proses pemberian pelayanan, dan kompensasi yang diterima serta harapan masyarakat pengguna. Faktor-faktor tersebut di atas merupakan prakondisi yang harus dipenuhi untuk peningkatan mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan. Peningkatan pelayanan dilakukan melalui peningkatan mutu dan profesionalisme sumber daya kesehatan. Sedangkan harapan masyarakat pengguna dilakukan melalui peningkatan pendidikan umum, penyuluhan kesehatan, serta komunikasi yang baik antara pemberi pelayanan kesehatan dan masyarakat.
4. Prioritas, sumber daya pembiayaan, dan pemberdayaan masyarakat
Selama ini upaya kesehatan masih kurang mengutamakan atau memprioritaskan masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat. Selain itu permasalahan kesehatan yang diderita oleh masyarakat banyak masih belum diikuti dengan pembiayaan kesehatan yang memadai. Disadari bahwa keterbatasan dana pemerintah dan masyarakat merupakan ancaman yang besar bagi kelangsungan program pemerintah serta ancaman pencapaian derajat kesehatan yang optimal. Diperlukan upaya yang intensif untuk meningkatkan sumber daya pembiayaan dari sektor publik yang diutamakan untuk kegiatan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta pencegahan penyakit. Ketersediaan sumber daya yang terbatas, mengharuskan adanya upaya untuk meningkatkan peran serta sektor swasta khususnya dalam upaya yang bersifat penyembuhan dan pemulihan. Upaya tersebut dilakukan melalui pemberdayaan sektor swasta agar mandiri, peningkatan kemitraan yang setara dan saling menguntungkan antara sektor publik dan swasta sehingga sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal.
Sementara itu, issue strategis bidang gizi, karena berhubungan dengan pangan, keluarga dan anak, maka hal yang berkaitan dengan:
1. Ketahanan pangan tingkat rumah tangga
2. Pengembangan agribisnis
3. Pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan yang berkaitan erat dengan upaya peningkatan daya beli dan akses terhadap pangan.
4. Pola pengasuhan yang tepat dan bermutu untuk anak
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka strategi pembangunan kesehatan untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2010 adalah:
1. Pembangunan Nasional Berwawasan Kesehatan
2. Profesionalisme
3. Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat
4. Desentralisasi
Strategi program gizi mengikuti strategi pembangunan kesehatan dan juga memfokuskan pada:
1. Pemberdayaan keluarga dan masyarakat
2. Pemantapan kelembagaan pangan dan gizi
3. Pemantapan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
4. Advokasi dan mobilisasi social
5. Peningkatan mutu dan cakupan pelayanan gizi melalui penerapan paradigma sehat
Berdasarakan strategi tersebut, maka tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan mayarakat yang optimal. Dan kebijaksanan pembangunan kesehatan untuk mewujudkan tujuan tesebut adalah:
1. Pemantapan kerja sama lintas sektoral
2. Peningkatan kemandirian masyarakat dan kemitraan swasta
3. Peningkatan perilaku hidup sehat
4. Peningkatan lingkungan sehat
5. Peningkatan upaya kesehatan
6. Peningkatan sumber daya kesehatan
7. Peningkatan kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan
8. Peningkatan IPTEK
9. Peningkatan derajat kesehatan
Sejalan dengan kebijakan pembangunan kesehatan, telah dibuat pula rencana program aksi pangan dan gizi yang juga merupakan penjabaran Propenas, yaitu:
1. Pengembangan kelembagaan pangan dan gizi
2. Pengembangan tenaga pangan dan gizi
3. Peningkatan ketahanan pangan
4. Kewaspadaan pangan dan gizi
5. Pencegahan dan penanggulangan gizi kurang dan gizi lebih
6. Pencegahan dan penanggulangan kurang zat gizi mikro
7. Peningkatan perilaku sadar pangan dan gizi
8. Pelayanan gizi di Institusi
9. Pengembangan mutu dan keamanan pangan
10. Penelitian dan pengembangan
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Indonesia Sehat 2010 merupakan goal yang akan dicapai. Hal ini tidak mungkin dicapai jika peningkatan kualitas dan akses masyarakat terhadap kesehatan dan gizi tidak menjadi perhatian utama. Alokasi kesehatan yang masih sekitar 3% tentunya tidak berarti untuk mencapai tujuan ini. Goal ini juga mengarahkan kita semua untuk mendukung upaya berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan dan kualitas hidup. Diperlukan penjabaran Propenas dan Propeda kedalam bentuk program aksi yang lebih konkrit. Fokus perhatian diutamakan pada keluarga miskin di wilayah kumuh perkotaan dan pedesaan. Selain itu peningkatan kesehatan dan gizi masyarakat tidak akan terlepas juga dari kontribusi “komprehensif dan pelayanan profesional” yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat secara keseluruhan.
Rekomendasi yang diperlukan tentunya berkaitan dengan:
1) paradigma sehat yang berlandaskan pada visi dan misi pembangunan kesehatan nasional;
2) revitalisasi pada infrastruktur yang berkaitan dengan upaya desentralisasi;
3) alokasi kesehatan dan gizi yang optimal;
4) memperkuat aspek teknologi bidang kesehatan dan gizi;
5) memperkuat aspek pelayanan kesehatan dan gizi secara profesional;
6) mengembangkan JPKM;
7) memperkuat sistem pemantauan dan evaluasi program.
Pada akhirnya kajian terus menerus berkaitan dengan kependudukan sangat diperlukan, terutama pada kelompok sasaran yang menjadi prioritas dalam pembangunan kesehatan dan gizi. Peningkatan derajat kesehatan dan gizi penduduk merupakan investasi yang besar bagi negara.
Tabel 1
Proporsi penduduk menurut kelompok umur
(Hasil sementara SP 2000)
Umur (tahun) Laki-laki Perempuan Total
0-4 9.16 8.59 8.88
5-9 10.56 10.18 10.37
10-14 10.93 10.22 10.58
15-19 10.89 10.17 10.53
20-24 8.71 8.93 8.82
25-29 8.27 9.05 8.66
30-34 7.59 7.96 7.77
35-39 7.39 7.83 7.61
40-44 6.49 6.35 6.42
45-49 5.52 4.99 5.26
50-54 3.97 4.37 4.17
55-59 3.25 3.30 3.28
60-64 2.80 3.09 2.94
65-69 1.92 2.16 2.04
70-74 1.44 1.45 1.45
75+ 1.12 1.35 1.24
0-49 85.51 84.27 84.90
15-49 54.86 55.28 55.07
Sumber: Hasil Sementara SP 2000, BPS
Figure 1
Kecenderungan GNP per capita ($US dollars)
1988-2000
Sumber: World Bank Report, 2000
Figure 2
Persen Penduduk Miskin 1976-1999
Sumber: BPS, 2000
Figure 3
Angka Kematian Bayi (IMR) dan Balita (U5MR)
SDKI 1991, 1994 dan 1997
Sumber: Sumantri, et.al 2000
Figure 4
Keadaan gizi kurang dan gizi buruk pada Balita, Susenas 1989-2000
Sumber: Direktorat Gizi Masyarakat, 2001
Figure 5
Proporsi BBLR dari beberapa sumber: 1990-2000
Sumber: End Decade Goal Report, 2000
Figure 6
Proporsi Wanita Usia Subur (15-49 tahun) dengan LILA <23.5 cm: Susenas 1999-2000
Figure 7
Proporsi Wanita Usia Subur (15-49 tahun) dengan LILA <23.5 cm: Susenas 1999-2000
Sumber: Analisis Susenas 1999 dan 2000 untuk LILA pada Wanita Usia Subur,
Direktorat Gizi Masyarakat, 2001.
"penelitian ini dilakukan oleh seorang pakar gizi"
Senin, 19 Oktober 2009
Melodi Takbir
Subuh bergemuruh, seakan semesta yang luas ini ingin mengabarkan bahwa kumandang takbir telah bersahut-sahutan seumpama sebuah melodi dengan syair – syair dahsyat. Allahu Akbar..Allahu Akbar…Allahu Akbar….Alla…..hu akbar……
Takbir itu memantul dari satu kuping ke kuping lain seolah –olah terus dan terus melukiskan bahwa tidak ada yang dapat mengalahkan kebesaranNya, Allah Yang Maha Besar..Allah Yang Maha Besar….
Sudah waktunya, aku harus bangkit dari tempatku, mengambil air wudhu dan menghadap kepadaNya dengan segenap jiwa dan raga. Tak pernah ada rasa bosan mendengar gemuruh takbir di setiap waktu shalat. Takbir seperti sebuah senandung mahligai yang menjulang tinggi, menusuk ke hati, merayap di relung-relung jiwa, membuat kepala memanas hingga dapat meneteskan air mata. Sayang, tak banyak orang yang ingin menghayati ataupun mendengar takbir yang dahsyat itu, kebanyakan teman-temanku lebih suka mendengar Ariel “peterpan” angkat suara mendendangkan lagu – lagunya yang dapat melenakan berjuta remaja di negeriku atau mendengar Gita Gutawa, dengan suara khasnya yang melengking. Dahulu kala saat aku masih terlena dengan tarian - tarian duniawi dengan globalisasinya yang memacu kami para remaja untuk mengejar mode kebarat-baratan, aku hanya menyambut takbir dengan wajah riang sumringah saat lebaran Idul Fitri dan Idul Adha, selebihnya biasa saja bahkan terkadang malas rasanya mendengar takbir tatkala waktu shalat tiba. Namun, Alhamdulillah, ketika aku telah menapaki dinding – dinding pintu untuk mengetuk hidayahNya berusaha menjemputnya dan menggenggamnya erat – erat, takbir menurutku senandung yang bisa membangkitkan sesuatu dalam diriku, entah itu apa.
Saat aku menapaki jalan yang dikehendakiNya, aku sering menangkap melodi Takbir yang aduhai..melodi ini bukanlah lagu tetapi senandung yang merangkap dahsyatnya. Beberapa hari yang lalu, saat kakak – kakak yang membimbingku meneguk ilmu Allah seruput demi seruput mengajakku ke sebuah acara, Tablig Akbar, acara yang besar mengundang ratusan masyarakat dan aku bergerak selaku panitia. Disana kurasakan tubuhku merinding hebat, tak pernah kudapati tubuhku sedemikian rupa, takbir bergema terus dan terus bergema melengking, menyobek dinding – dinding hatiku yang berusaha menghalangiku menuju jalanNya. Glek - glek, aku menelan ludah berkali – kali karena akupun tak ingin ketinggalan melantunkan takbir. Nasehat kepada ummat menjadi ajang senandung takbir, hal ini biasanya tercipta dalam bentuk formal. Salah satunya acara yang telah kusebutkan tadi, adapula dialog muslimah, dialog islam terkini, diskusi public, talk show untuk para remaja, halal bi halal, dan banyak lagi. Di setiap acara yang diadakan, selalu ada takbir yang menghiasi dinding – dinding ruang acara. Bergemuruh deras memecah kesunyian, berusaha meraih indahnya semangat perjuangan. Perjuangan yang tidak akan pernah berhenti bahkan hingga tegaknya Daulah Khilafah Islamiyyah, solusi di atas solusi.
Melodi takbir yang paling dahsyat kutemukan dalam sebuah kegiatan yang serangkaiannya memang meneriakkan takbir yakni nasehat kepada para penguasa, diadakan dalam sebuah rangkaian acara mashiroh atau long march atau kalau bingung dengan dua kata itu maka sebut saja aksi damai, kalau masyarakat awam mengatakannya demo padahal beda lho, kalau dalam pandangan kita demo khan identik dengan kekerasan dan mengganggu kenyamanan sedangkan aksi damai ini sama sekali tidak mengganggu kenyamanan apalagi melakukan kekerasan. Acara ini diadakan dengan sangat tertib. Awal - awal aku mengikuti acara ini, tubuhku bergetar dan tak henti kepalaku memanas untuk kemudian menumpahkan kristal – kristal di pelupuk mataku. Bagaimana tidak? Aku melihat segerombolan orang yang berbaris dan berjalan tanpa henti-hentinya meneriakkan takbir. Ibu dan anaknya, sesekali ibu tersebut menggendong anaknya sambil berjalan, kakak dan adiknya, kebanyakan dari mereka teman dan temannya. Itu pada bagian akhwat entah ikhwan karena aku berada pada barisan akhwat, bibirku sampai gemetaran menggigil tanpa bisa kukendalikan sangking kuatnya takbir yang menggema di atap langit
Takbir……..kembali perawan meneriakkan di barisan akhwat terpantul – pantul hingga ke ujung barisan diikuti oleh masyarakat sekitar yang mendengar gelegarnya. Tak ketinggalan suara ikhwan menggema hingga akhwatpun menirukan dan mengikuti lengkingan takbir tersebut. Biasanya long march diadakan ketika ada hal yang penting untuk disampaikan kepada para penguasa begitupula masyarakat sekitar. Hal penting yang kerap kali dianggap tidak penting atau bahkan dicueki oleh para penguasa bahkan rakyat padahal itu adalah hal yang amat penting untuk yang merasa beragama islam. Yang paling besar adalah long march memperingati 1 Muharram 1430H menuju tegaknya daulah khilafah islamiyyah dan pembelaan terhadap masyarakat palestina yang dibantai oleh zionis
Bendera – bendera islam bertuliskan “ laa ilaha ilallah muhammadarrasulullah” mengantar kepergian kami untuk melaksanakan mashiroh tersebut. Long march kali ini diadakan secara universal di 32 propinsi seantero bumi pertiwi ini. Aku bisa merasakan gemuruh takbir yang memantul dari satu
Satu yang pasti melodi takbir akan terus menggelegar layaknya
Korban Kebobrokan Sistem
Telepon kak Atiqah sama sekali sulit untuk dihubungi, tut..tut ( tanda sibuk ) atau berada di luar service area, aku jadi tidak sadar mengumpat, seketika itu juga istigfarku mengikuti dan berusaha menghapus umpatanku.
“ Halo Assalamu’alaikum…,” sahut Kak Atiqah di seberang, Alhamdulillah.
“ Wa’alaikum salam kak…..” kataku dengan nada riang.
“ kenapa dek?”
Aku jadi bingung kok malah bertanya? waduh jangan-jangan kakak lupa, tapi kok kompakan banget sama teman pengajian yang lain.
“ Lho ka’, bukannya hari ini kita pengajian sekaligus diskusi pendidikan?”
“ Oh…ad’ tidak terima smsku yach? begini dek, Rini ke Soppeng, Ulwi di Rumah Sakit dan Afra sudah punya janji sama adik-adiknya ada kegiatan mendadak katanya, jadi pengajian sekaligus diskusi pendidikan kita batal, afwan yach dek ” jelas kak Atiqa lembut.
“ Hm…kak bisa tidak saya dan kak Mariani pengajian hari ini di rumahnya kak Tsabita soalnya saya takut hari-hari lain orang tua tidak mengizinkan,” balasku memelas, tampak sekali aku adalah hamba Allah yang haus ilmu, haussss sekali. Kak Atiqa sangat senang mendengar penuturanku, do’a terus mengalir dari bibirnya, tak lupa dia mengingatkan aku agar menjemput kak Mariani dulu sebelum ke rumah kak Tasbita, aku iyakan sekalian salam untuk mengakhiri pembicaraan kami, kak Atiqah menjawab salamku.
Tanpa menunggu dikomando segera ku-on dan kustater teman baikku, Vega Biru, berjalan menyusuri jembatan kembar menuju Mangalli, daerah tempat tinggal Kak Mariani. Sambil mengendarai teman baikku, aku menyanyikan lagu kesukaanku “ Laizzata ila bi islam “.
Tak lama teman baikku yang akrab kusapa VeBu ( Vega Biru ) telah terparkir di sisi kiri rumah kak Mariani. Rumahnya tampak sederhana, bersih, dan nyaman, ada sumur di sampingnya dan ada dua kursi kecil di terasnya, lega rasanya jika berada di rumah tersebut.
“Assalamu’alaikum,” sahutku pada seorang wanita yang sedang sibuk menjemur pakaian, pasti ibunya kak Mariani, gumamku.
“ Wa’alaikum salam,” jawabnya lantang sambil memperbaiki letak sarungnya.
“ Kak Mariani ada bu..?,” tanyaku sopan.
“ Oh…pengajian yach, tadi Mariani menunggu kabar pengajian, tapi karena kabar tak kunjung datang, dia lalu pergi dengan adiknya ke pengantin di desa sebelah, ayo masuk dulu ” ceplos ibunya sambil mempersilahkan aku untuk masuk.
Aku berniat menunggu karena ibunya mengatakan pasti tak lama lagi kak Mariani datang soalnya perginya sudah cukup lama. Aku menunggu di teras dan duduk di sebuah kursi kecil. Sementara gerimis terus mewarnai daerah Mangalli, untung tidak gerimis di jalan, gumamku. Sembari menunggu kedatangan kak Mariani, ibu yang kelihatan tidak sehat tersebut dengan ramah mengajakku ngobrol, beliau ngobrol tentang keadaan keluarganya.
“ Bapak Mariani sakit beberapa hari ini, nafasnya selalu tersengal-sengal sehingga dia tidak kerja sementara waktu, tetapi anakku yang cerewet, Imma, adiknya Mariani, protes pengen makan ikan, karena kasihan, bapak memaksakan dirinya untuk kerja pagi ini, ke pasar mencari ikan,” jelasnya panjang. Aku hanya tersenyum iba sembari memandang lekat kepada ibu yang kira-kira berusia empat puluh tahun keatas tersebut, yang kupandangi berbalik memandangku, karena tak kuat dengan pandangannya yang sayu kuberalih memandang sepatu hitamku. Teringat aku akan keadaan di rumah, tak jarang ikan selalu lebih. Kalau sudah begitu yah…ikannya dipindahkan ke tempat sampah, baru-baru ini saja dua ikan yang masih utuh berpindah ke tempat sampah, gatal katanya kalau disimpan terlalu lama. Orang-orang di rumah, kalau makanan sudah tinggal lebih dari satu hari, akan diacuhkan. Aku miris sendiri melihat fakta di depanku, betapa banyak orang yang tidak bisa makan makanan yang layak, tetapi di sisi lain banyak pula orang yang seakan tidak menyadari sekelilingnya, hingga boros dan membuang makanan yang masih layak makan. Zaman sekarang memang sangat miris, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
“Anakku Mariani seperti laki-laki, selama bapaknya sakit dia yang bekerja setiap hari tanpa henti, saya sendiri juga sudah tidak mampu. Berjalan jauh saja tidak mampu, hanya Mariani tulang punggung kami,” tambahnya lagi membuyarkan renunganku.
Kembali aku tersenyum seakan menjawab penjelasannya. Aku lebih memilih menjadi pendengar setia, sesekali aku mengangguk tanda mengerti akan cerita beliau.
“ Dulu, kami punya anak laki-laki, kakaknya Mariani, tetapi dia ditikam….,” sahutnya serak, matanya merah, beliau menangis, aku hanya terdiam sambil kembali memandangnya lekat sedangkan beliau mengarahkan pandangannya ke depan.
“ Waktu dia menonton di desa sebelah, dia ditikam oleh pemuda tak dikenal, sampai sekarang pemuda tak dikenal itu tak ditemukan,” tambahnya lagi sambil terus menghapus deras air matanya dengan sarungnya.
“ Apa… polisi tidak menangani bu…?” tanyaku hati-hati, tak ingin aku menambah goresan kenangan kepedihan dihatinya, maka aku bicara seperlunya itupun dengan nada hati-hati.
“ Waktu mayatnya sampai ke rumah diikuti oleh beberapa polisi, seketika itu juga polisi mengatakan agar memberikannya uang jika ingin pelakunya ditemukan, jelas saja kami tidak memberinya, waktu itu kami tidak punya uang. Entahlah itu polisi apa, kami sudah sedih anak kami terbunuh, dia malah menambah beban kami, kami waktu itu hanya pasrah, mungkin sekarang pelakunya enak-enak bebas sementara kami kehilangan anak kami,” serak yang semakin mendalam seakan mengumpat petugas keamanan itu membuat mata ibu di depanku merah geram bercampur sedih, aku semakin tak kuat melihatnya.
“ sabar bu..,” sahutku pelan, pikiranku kembali mengembara entah kemana seperti hendak mencari sesuatu yang hilang, akupun tak tahu harus berbuat apa, yang kutahu saat itu aku menahan sesak di dadaku yang semakin membuncah.
“ Kalau ingat anakku itu, saya selalu saja menangis, bahkan anakku yang cerewet selalu mengatakan, ah ibu menangis lagi…,kenapa menangis bu….?. Saya selalu menjawab tidak apa-apa nak. Anakku yang meninggal itu sangat baik dek, setiap pulang kerja, saya selalu dicarinya, saya ingat dia selalu mengatakan Ibu nih saya dapat lagi..ibu bisa membeli beras dengan uang ini. Hu…hu…,” jelasnya sambil terus terisak, aku sendiri terpekur menahan sesak dan air mata yang selalu meminta dikeluarkan, aku hanya bisa terus merunduk menatap buku catatan kecil dihadapanku. Tadinya aku hanya ingin menulis pesan untuk kak Mariani karena telah lama menunggu, namun kini aku lebih memilih untuk mendengarkan kisah yang sangat mengharukan dari seorang wanita di hadapanku. Kisah yang semakin menyadarkan kita akan kebobrokan sistem kapitalisme.
Tak lama kami berdua larut dalam kesedihan masing-masing, beliau sedih mengingat anaknya dan aku sendiri sedih akan semakin banyaknya korban dari sistem sekarang, korban sistem yang menilai segalanya dengan materi, bahkan ketika nyawa terenggutpun masih ada saja orang yang tidak berperikemanusiaan memanfaatkan hal tersebut untuk mencari keuntungan. Kami merayap dalam keheningan masing-masing, ibu di hadapanku nampaknya telah berhenti terisak meski matanya masih basah, bersamaan dengan itu seorang laki-laki memakai baju kaos dan celana pendek dengan topi yang menutupi ubannya, mengayuh lemah sepedanya menuju ke arah kami, nampaknya ia sangat lelah menantang gerimis saat itu. Umurnya sudah sangat tua, namun senyumnya tetap merekah, bapaknya kak Mariani.
“ Ini lho temannya Mariani, dimana tempat pengantinnya pak, kenapa Mariani lama pulangnya?” tanya ibunya kak Mariani sambil beranjak memperbaiki jemurannya.
“ Dekat dari sini, tidak lama dia pasti pulang,” jawab beliau sambil menyandarkan sepedanya di sisi rumah dekat sumur. Dia memandang kearahku. Aku berdiri dan sedikit merunduk tanda hormatku kepadanya, beliaupun duduk di tempat aku duduk tadi.
“ Duduk…,” perintahnya sambil tersenyum, nampak wajahnya yang kelelahan, nafasnya tersengal-sengal. Akupun duduk di tempat ibunya kak Mariani duduk tadi. Sedang ibu kak Mariani sibuk mengolah ikan yang dibawa oleh suaminya.
“ Sudah lama ?” tanyanya sambil menghapus sisa-sisa gerimis di wajahnya.
“ Baru pak…,” jawabku sambil tersenyum. Keheninganpun menyapa kembali, sembari menunggu kak Mariani, iseng kumenulis puisi di buku catatan kecil yang kupegang sedari tadi, sebuah puisi bahasa hati.
Setiap tetes keringatnya
Untuk sesuap nasi demi keluarganya
Terengah-engah mengayuh roda dua tak bermesin
Memaksakan diri di akhir umur
Kembali zaman kapitalisme mengirimkan kebobrokannya
Kembali zaman sekularisme membagi derita tanpa ampun
Hanyalah harapan yang melambai
Agar Pejuang Islam kokoh
Terus berjuang
Demi tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah
Mengakhiri derita yang mendarah daging
Mewarnai indahnya pagi berhiaskan takbir
Berhiaskan senyum
“ Apa nda sebaiknya bapak memanggil Mariani pulang…,” saran ibu kak Mariani sambil terus mengolah ikan di hadapannya.
Wajah bapak kak Mariani berkerut.
“ Yah…saya ini sudah tidak seperti dulu…. walau jaraknya dekat nafasku seperti susah diatur..,” sahutnya sambil memandang ke arahku seraya tersenyum.
“ Nda papa pak, saya menunggu saja…,” kataku sambil menjawab senyumnya. Walau waktu semakin menghunus, aku berpikir semua bisa diatur belakangan. Bapak kak Mariani tampak selalu menengok ke depan, berharap kak Mariani cepat datang, mungkin beliau juga tidak enak karena aku sudah menunggu lama.
“ Itu mereka datang…..,” sahut bapak kak Mariani. Aku tersenyum.
Tampak dari kejauhan sesosok tegar memegangi payung besar dengan dua orang anak kecil mendampinginya mendekat, kak Mariani dan kedua adiknya. Kak Mariani tersentak dan tersenyum kepadaku, nampaknya ia terkejut aku datang.
“ Aku kira..kita tidak ngaji…,” kata kak Mariani sambil menatapku dengan mata sendunya.
“ Ngaji kak, di rumahnya kak Tsabita,” jawabku sembari tersenyum.
Dia tersenyum dan beranjak hendak bersiap-siap, seketika itu aku memandangi gadis kecil memakai jilbab ungu dan kerudung hijau sedang berusaha membuka sesuatu di dalam tasnya, dia tampak kesal ketika seorang anak laki-laki ingin merebut tasnya.
“ Biar bapak dulu yang matan tuenya biar nanti setelah bapak baru tata,” cuap cadelnya sambil menawarkan ke arah ayahnya. Lekat kupandang ayah kak Mariani menyungging senyum sambil bertanya, Apa ini?
Setelah bersiap, kak Marianipun pamit, aku juga pamit sambil mencium kedua tangan orang tua kak Mariani dengan takzim. Kepergian kami diiringi oleh cuap cadel Imma, agaknya dia terus bertanya, mau kemana kak Mariani? Aku tersenyum saja, sungguh anak kecil itu menggemaskan. Tak lama deruan teman baikku mengantarkan kami berdua menuju rumah kak Tsabita, di perjalanan aku merenungi segalanya. Merenungi betapa beruntungnya aku hidup berkecukupan, merenungi betapa tegarnya kak Mariani menghadapi ini semua dan terus merenungi betapa bobroknya sistem sekarang, kak Mariani dan sederet fakta lainnya adalah bukti nyata kebobrokannya. Air mata yang tertahankan tadi kini membuncah, tersembunyi dibalik helmku, aku berusaha menyembunyikannya.
Ya Allah istiqomahkanlah kami untuk terus berjuang di jalanMu, agar Daulah Khilafah Islamiyyah sebagai janjimu yang pasti, segera tegak, kuatkanlah kak Mariani dan sederet tokoh lainnya yang memiliki beban hidup yang sulit. Hanyalah pertolonganMu ya Allah…hanyalah pertolonganMu….Do’aku dalam hati ditemani cucuran air mataku yang semakin deras.
Dia Yang Kurindu

Dia yang kurindu
Bola mata itu
begitu sendu, cerah dan tegar
memancarkan bias-bias cinta dan kasih sayang
memandangnya menyejukkan hati
seolah tegas melindungi
Dia yang kurindu
Tangan itu
wangi syahidah di padang permai
mengepulkan bakul nasi
mencuci noda pembalut diri
menjamah debu di tempat berlindung
membelai mesra kami
menengadah memohon kepadaNya tanpa henti
Dia yang kurindu
Bibir itu
Bibir dzikir merona
Menasehati, mengajari, meminta maaf,
berceloteh renyah, bertakbir, bertahmid, bertahlil
berdo’a dan tilawah penyegar hari
Dia yang kurindu
berkelebat-kelebat di tiap hariku
kuigaukan setiap malam
kusebut dalam setiap do’aku
Meski..
Aku harus membuka mata
sosokmu tak seperti yang kurindu
Namun,
engkau tetap matahariku
pahlawanku dan pohonku
Takkan kulupakan pengorbananmu
memikul kami selama sembilan bulan
menantang badai kematian di detik-detik kelahiran
mencurahkan materi arti kepedulian
menanti kami harap-harap cemas saat kami terlambat ke pangkuanmu
serta membela kami saat kami tersudut
Tak berdaya mahluk ini membalas jasamu
Syukron ummi..
Harapanku ummi,
Segeralah menatap hati dan hari
Menyadari kecilnya dunia
Mendekat kepadaNya yang Maha Pengampun
Bersenandung bersama kami
Menikmati milikNya
berhiaskan takbir, tahmid, dan tahlil
Segeralah ummi..
Gemuruh rindu akan sosok ummi yang mulia
tak tertahankan lagi
Segeralah ummi..
Saat engkau telah menjadi mujahidah yang kurindu
aku ingin berterima kasih lagi lebih dalam
Created by : Yusmaindah Jayadi (Asiyah)
Minggu, 18 Oktober 2009
Kritik Terhadap RUUBHP
Kritik Terhadap RUUBHP
Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswi Universitas Hasanuddin dari berbagai fakultas kian menjamur. Pasalnya RUU BHP akan segera disahkan. Isu ini bukan sekedar isu, sebab fakta telah begitu telanjang bahwa “RUUBHP telah disahkan” bukan lagi “akan segera disahkan”. Saya selaku mahasiswi di PTN terfavorit di Indonesia Timur mendengar berita ini membuat tulang-tulangku bagai dilolosi satu per satu, bagaimana tidak, jika hal ini terbukti adanya, maka kami selaku mahasiswa dan mahasiswi tidak hanya akan memikirkan masalah akademik tetapi juga akan memikirkan kelanjutan kisah kami di kursi universitas yang kami raih dengan pengorbanan ini. Akankah kami bisa terus bertahan? Ataukah kami akan tereliminasi layaknya seorang peserta Akademi Fantasi Indosiar yang menarik dengan hati pilu kopor-kopor mereka. Tidak bisa dipungkiri, kebanyakan mahasiswa/mahasiswi memilih berdesak-desakan, antri berkepanjangan, tubuh terbakar matahari, saling menyiku satu sama lain untuk mendapatkan satu kursi di sebuah universitas negeri karena ingin memeroleh pendidikan yang lebih murah. Itupun telah mengorbankan harta warisan ataupun sawah di desa yang mungkin luasnya hanya sebahu. Untuk apa? Sekali lagi demi mendapatkan kursi di sebuah universitas yang pembayarannya lebih press dibandingkan universitas-universitas lain yang pembayarannya menjulang tinggi. Untuk itu, saya selaku mahasiswi yang peduli pendidikan ingin melirik RUUBHP. RUUBHP adalah ancaman komersialisasi pendidikan. Alasan-alasan yang dilontarkan oleh mereka para perancang undang-undang tidak lain adalah meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan jaminan mutu. Namun, praktiknya adalah kapitalisasi pendidikan. Cirinya, peran negara diminimalkan dan pendidikan lebih diserahkan kepada masyarakat. Walhasil jika pendidikan lebih diserahkan masyarakat maka lagi-lagi kita jatuh dalam kubangan masalah pendanaan. Dalam hal ini, saya mengakui bahwa Perguruan Tinggi tak bisa disalahkan sebab setelah keputusan itu di amini, Perguruan Tinggi juga kerepotan banting tulang untuk mencari sumber pendanaan mulai dari buka bisnis sampai yang paling gampang menaikkan biaya pendidikan. Hasilnya, pendidikan benar-benar komersialisasi. Kita lirik satu contoh universitas terbaik di Indonesia, Universitas Indonesia, pada tahun 1999, Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan (DPKP) sebesar 1,5 juta rupiah meningkat tiga kali lipat dari biaya sebelumnya yang limaratus ribu rupiah. Lalu tahun 2003, Program Prestasi Minat Mandiri (PPMM) mengharuskan mahasiswa membayar uang masuk sebesar 50-60 juta rupiah, belum uang pangkalnya (admission fee) yang kisarannya 5-25 juta rupiah. Atau biarkan aku bercerita tentang PTN lain, kita bisa mengambil ITB sebagai contoh. Pada tahun 2007 ITB membutuhkan anggaran dana sebesar Rp 392 miliar. Dengan subsidi Pemerintah yang kecil, ITB harus mencari jalan keluar agar kebutuhannya terpenuhi. Lalu ITB menetapkan biaya SPP reguler (S1) untuk tahun ajaran 2007/2008 sebesar Rp 3,25 juta/semester. Bahkan Sekolah Bisnis Manajemen dikenakan biaya sebesar Rp 625.000, 00/ SKS.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, kami selaku mahasiswa dan mahasiswi sangat mengerti akan hal itu. Namun, bukan berarti hal itu dibebankan kepada masyarakat. Lalu kepada siapa? Kewajiban Pemerintahlah yang seharusnya menjamin pendidikan setiap rakyatnya baik kaya atau pun miskin, dengan akses yang mudah untuk pendidikan yang bermutu. Saat ini, status PT-BHMN ( Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara) memberikan peluang yang besar untuk memandulkan peran Pemerintah dalam sektor pendidikan. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8%. Kondisi ini tidak terlepas dari tekanan utang dan kebijakan pembayaran utang di bumi pertiwi ini. Sebanyak 25% komponen APBN habis untuk membayar utang. Ck..ck..ck
Sekali lagi mahalnya biaya pendidikan di jenjang Perguruan Tinggi (PT) memang telah sengaja dicanangkan. Jika tidak percaya akan pernyataan ini, kita bisa kembali melirik Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). DPR sudah memasukkan RUU BHP menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2007.
Jika dicermati, RUU tersebut mengarah pada upaya liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan nasional. Pemerintah secara bertahap berupaya meminimalkan tanggung jawabnya dalam pembiayaan pendidikan melalui APBN.
Mengapa Pemerintah meminimalkan perannya bahkan cenderung melepaskan tanggung jawabnya dalam pembiayaan pendidikan? Pertama: karena Pemerintah menggunakan paradigma Kapitalisme dalam mengurusi kepentingan dan kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan. Ideologi Kapitalisme memandang bahwa pengurusan rakyat oleh Pemerintah berbasis pada sistem pasar (market based system). Artinya, Pemerintah hanya menjamin berjalannya sistem pasar itu, bukan menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Dalam pendidikan, Pemerintah hanya menjamin ketersediaan sekolah/PT bagi masyarakat; tidak peduli apakah biaya pendidikannya terjangkau atau tidak oleh masyarakat. Pemerintah akan memberikan izin kepada siapapun untuk mendirikan sekolah/PT termasuk para investor asing. Anggota masyarakat yang mampu dapat memilih sekolah berkualitas dengan biaya mahal. Yang kurang mampu bisa memilih sekolah yang lebih murah dengan kualitas yang lebih rendah. Yang tidak mampu dipersilakan untuk tidak bersekolah, ironis bukan. Kedua: Dana APBN tidak mencukupi untuk pembiayaan pelayanan pendidikan. Pasalnya, sebagian besar pos pengeluaran dalam APBN adalah untuk membayar utang dan bunganya. Dalam APBN 2007, misalnya, anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar Rp 90,10 triliun atau 11,8 persen dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun. Sebaliknya, untuk membayar utang pokok dan bunga utang mencapai 30 persen lebih dari total APBN. Kenyataan ini antara lain karena negara-negara pemberi utang mendorong negara-negara pengutang seperti Indonesia meminimalkan perannya dalam menyediakan pelayanan publik yang membutuhkan dana besar, termasuk pendidikan. Pencabutan pembiayaan di sektor pelayanan publik termasuk pendidikan ini untuk memudahkan negara-negara pengutang membayar utangnya dengan lancar. Pengurangan subsidi ini telah menjadi syarat pemberian utang oleh Bank Dunia dengan skema SAP (Structural Adjustment Project). Pada saat yang sama, kekayaan alam di negeri ini—yang seharusnya menjadi sumber utama pemasukan negara—justru ’dipersembahkan’ kepada penjajah asing seperti ExxonMobil, Freeport, Unocal, Caltex, Shell, dan sebagainya.
Jadi akar masalah yang sebenarnya adalah hilangnya peran negara, kalau kita cermati dampak buruk dari hilangnya peran negara adalah Pertama, terjadinya ’lingkaran setan’ kemiskinan. Tidak terjangkaunya biaya pendidikan akan menyebabkan banyaknya generasi umat yang gagal mengembangkan potensi dirinya sehingga mereka tetap dalam kondisi miskin dan bodoh padahal kita tentunya telah meraba begitu banyak anak-anak di luar sana yang memiliki potensi yang jika dikembangkan akan sangat bermanfaat, tentu kita belum lupa tokoh Lintang dalam film laskar pelangi, entah berapa banyak lagi Lintang-Lintang lain yang memiliki potensi luar biasa, potensi untuk berkompetisi seketika itu juga terhalangi oleh karena biaya pendidikan yang makin mencekik. Selain itu, pendidikan berkualitas hanya bisa dinikmati oleh kelompok masyarakat dengan pendapatan menengah ke atas. Mereka dengan pendapatan menengah ke bawah akan putus sekolah di tingkat SD, SMP, atau paling tinggi SMU. Padahal sekolah dapat menjadi pintu perbaikan kompetensi masyarakat agar mereka mampu merancang perbaikan taraf hidupnya. Tidak hanya itu, kompetensi masyarakat juga sangat berguna bagi SDM di bumi pertiwi ini.
Kedua, gencarnya penjajahan Kapitalisme di Indonesia. Sebagaimana diketahui, kunci utama untuk keluar dari penjajahan dan menuju kebangkitan adalah peningkatan taraf berpikir bangsa. Pendidikan merupakan unsur penting dalam peningkatan taraf berpikir bangsa tersebut. Sumberdaya alam (SDA) yang melimpah di suatu negara menjadi tidak berfungsi optimal manakala tidak didukung dengan SDM yang terdidik. Kondisi SDA Indonesia saat ini mulai menciut. Jika ditambah dengan SDM yang tidak terdidik maka nasib Indonesia akan semakin tenggelam dalam cengkeraman negara-negara kapitalis dalam rentang waktu yang sangat panjang.
Dari analisis yang saya rangkum, saya dengan tegas menyatakan RUUBHP bukanlah solusi untuk meningkatkan mutu pendidikan. Justru hal ini akan memunculkan masalah baru yang lebih pelik, misalnya terjadinya ”lingkaran setan” kemiskinan, minimnya SDM, meningkatnya jumlah pengangguran, meningkatnya jumlah anak jalanan, dan lain-lain. Jika kita ingin menyelesaikan masalah maka kita sebaiknya mencabut akar permasalahan yang ada. Apakah akar permasalahan itu? Hilangnya peran negara, mengapa bisa hilang? Karena ancaman penjajahan kapitalisme di Indonesia yang semakin memborok, jika hal ini terus dan terus merangsang lahirnya kebobrokan yang akan membunyikan lonceng kematian di bumi pertiwi ini lebih nyaring maka bumi pertiwi ini akan diambang kehancuran. Fakta di atas hanyalah salah satu dari sekian banyak fakta dari kebobrokan kebijakan-kebijakan yang lahir dari sistem kapitalisme. Sekarang Apalagi yang tersisa, jika pendidikan, ekonomi, sosial-budaya, semuanya berada di detak-detik kehancurannya.
By :
Yusmaindah Jayadi
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Jurusan Ilmu Gizi
2008
Universitas Hasanuddin
Makalah Role Play dan simulasi
Yusmaindah jayadi
TUGAS PROMKES
AT UIN
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mengingat visi promosi kesehatan adalah masyarakat mau dan mampu memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka ( mandiri kesehatan ). Maka promosi atau pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau individu. Dengan harapan bahwa dengan adanya pesan tersebut, maka masyarakat, kelompok atau individu dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik. Pengetahuan tersebut pada akhirnya diharapkan dapat berpengaruh terhadap perilaku. Dengan kata lain dengan adanya promosi kesehatan tersebut diharapkan dapat membawa akibat terhadap perubahan perilaku kesehatan dari sasaran.
Promosi/pendidikan kesehatan juga sebagai suatu proses dimana proses tersebut mempunyai masukan ( input ) dan keluaran ( output ). Di dalam suatu proses pendidikan kesehatan yang menuju tercapainya tujuan promosi, yakni perubahan perilaku, dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor yang mempengaruhi suatu proses pendidikan disamping faktor masukannya sendiri juga faktor metode, faktor materi atau pesannya, pendidik atau petugas yang melakukannya, dan alat – alat bantu atau media yang digunakan untuk menyampaikan pesan. Agar dicapai suatu hasil yang optimal, maka faktor – faktor tersebut harus bekerjasama secara harmonis. Hal ini berarti bahwa untuk masukan ( sasaran pendidikan ) tertentu harus menggunakan cara tertentu pula. Materi juga harus disesuaikan dengan sasaran. Demikian juga alat bantu pendidikan disesuaikan. Untuk sasaran kelompok, maka metodenya harus berbeda dengan sasaran massa dan sasaran individual. Untuk sasaran massapun berbeda dengan sasaran individual, dan sebagainya.
Dalam memilih metode promosi kelompok, harus mengingat besarnya kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal dari sasaran. Untuk kelompok yang besar, metodenya akan lain dengan kelompok kecil. Efektivitas suatu metode akan tergantung pula pada besarnya sasaran pendidikan. Dalam hal ini, apabila peserta kegiatan itu kurang dari 15 orang biasanya kita sebut kelompok kecil. Metode – metode yang cocok untuk kelompok kecil adalah diskusi kelompok, curah pendapat, bola salju, kelompok –kelompok kecil, role play dan simulasi.
Terkadang manusia cepat melupakan hal – hal yang tidak berkesan sehingga pengaplikasianpun amat nihil, metode yang tepat dalam rangka memberikan kesan menarik yang memungkinkan masyarakat mengingat dan mengaplikasikan dengan baik adalah role play dan simulasi. Hal ini karena kita mengetahui bahwa rasa bosan kerap kali menghinggapi manusia dan apabila rasa bosan itu muncul maka penyerapan terhadap pesan – pesan yang disampaikan sangat kurang, oleh karena itu dengan role play dan simulasi akan memberikan warna yang berbeda dalam penyampaian selama itu sesuai dengan etika yang berlaku. Namun, tak bisa kita pungkiri cara atau metode ini selain mempunyai kelebihan juga memiliki kekurangan, maka dari itu sangat diperlukan pembahasan yang mencakup hal tersebut. Selain itu terdapat juga media promosi kesehatan yang bertujuan mempermudah penyampaian informasi, memperjelas informasi, memperlancar komunikasi, dll. Media promosi kesehatan ini dapat ditinjau dari berbagai aspek yakni berdasarkan bentuk umum penggunaannya, dan berdasarkan cara produksinya.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Metode Promosi Kelompok Kecil
Role Play ( Memainkan Peran )
Role Play adalah sejenis permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang ( Jill Hadfield, 1986 ). Role play seringkali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah – olah berada di luar ruangan dan memainkan peran orang lain. Dalam metode ini beberapa anggota kelompok ditunjuk sebagai pemegang peran tertentu untuk memainkan peranan, misalnya dokter di puskesmas, sebagai perawat atau bidan, dan sebagainya, sedangkan anggota yang lain sebagai pasien atau anggota masyarakat.
Mereka memperagakan, misalnya bagaimana interaksi atau berkomunikasi sehari – hari dalam melaksanakan tugas.
Kelebihan
Meningkatkan keterampilan bicara.
Dapat menciptakan sesuatu yang ber-atmosphere sehingga menghasilkan kesan yang baik.
Role Play dapat memberikan kesenangan yang bermanfaat.
Role play dapat membangkitkan ketenangan dalam menyampaikan dan mendengarkan penyampaian serta mengurangi ketegangan.
Role Play membangkitkan rasa percaya diri dan keberanian.
Role Play meningkatkan kualitas bahasa seseorang.
Role Play dapat membuat anggota kelompok lebih aktif
Role Play bisa jadi obat mujarab mengatasi rasa takut.
Role Play merangsang imajinasi dan kemampuan verbal dalam kelompok.
Role Play dapat memberikan kemudahan dalam menangkap pesan – pesan yang ada.
Kelemahan
Sedikit rumit dalam pelaksanaannya.
Perlu persiapan matang.
Waktu yang dibutuhkan cukup banyak.
Perlu keterampilan dalam mengkoordinasi pelaksanaannya.
PERMAINAN SIMULASI
Metode ini merupakan gabungan antara role play dengan diskusi kelompok. Pesan – pesan kesehatan disajikan dalam beberapa bentuk permainan seperti permainan monopoli. Cara memainkannya persis seperti bermain monopoli, dengan menggunakan dadu, gaco ( petunjuk arah ), selain beberan atau papan main. Beberapa orang menjadi pemain, dan sebagian lagi berperan sebagai narasumber.
Kelebihan
Simulasi dapat memberikan wawasan yang lebih luas melalui memainkan peran dan diskusi kelompok.
Simulasi adalah metode kelompok kecil yang unik, menarik, lengkap, padat dan jelas.
Dapat mengatasi rasa jenuh atau bosan.
Meningkatkan keterampilan bicara.
Dapat menciptakan sesuatu yang ber-atmosphere sehingga menghasilkan kesan yang baik.
Permainan simulasi dapat memberikan kesenangan yang bermanfaat.
Permainan simulasi dapat membangkitkan ketenangan dalam menyampaikan dan mendengarkan penyampaian serta mengurangi ketegangan.
Simulasi membangkitkan rasa percaya diri dan keberanian.
Simulasi meningkatkan kualitas bahasa seseorang.
Simulasi dapat membuat anggota kelompok lebih aktif .
Simulasi bisa jadi obat mujarab mengatasi rasa takut.
Simulasi merangsang imajinasi dan kemampuan verbal dalam kelompok.
Simulasi dapat memberikan kemudahan dalam menangkap pesan – pesan yang ada.
Kelemahan
Rumit dalam pelaksanaannya.
Perlu persiapan matang.
Waktu yang dibutuhkan cukup banyak.
Perlu keterampilan dalam mengkoordinasi pelaksanaannya.
Tidak dapat dilaksanakan secara langsung, butuh perencanaan atau strategi yang kompleks.
Media Promosi Kesehatan
Media promosi kesehatan adalah semua sarana atau upaya untuk menampilkan pesan atau informasi yang ingin disampaikan oleh komunikator, baik melalui media cetak, elektronika dan media luar ruang, sehingga sasaran dapat meningkat pengetahuannya yang akhirnya diharapkan dapat berubah perilakunya ke arah positif terhadap kesehatan.
Promosi kesehatan tidak dapat lepas dari media karena melalui media, pesan – pesan yang disampaikan dapat lebih menarik dan dipahami, sehingga sasaran dapat mempelajari pesan tersebut sehingga sampai memutuskan untuk mengadopsinya perilaku yang positif.
Berdasarkan cara produksinya, media promosi kesehatan dikelompokkan menjadi media cetak dan media elektronika, salah satunya berupa biliboard, spanduk, dan poster yang mana mencakup pada media cetak.
Billboard, Spanduk, Poster,dll.
Billboard, yang dipasang di pinggir jalan, spanduk, poster dan sebagainya juga merupakan bentuk pendidikan kesehatan massa. Contoh : Ayo ke Posyandu.
Kelebihan :
Tahan lama.
Jangkauannya mencakup banyak orang.
Biaya tidak terlalu tinggi.
Tidak perlu menggunakan listrik.
Dapat mengungkit rasa keindahan.
Mempermudah pemahaman mengenai masalah kesehatan yang diinformasikan
Kelemahan :
Media ini tidak dapat menstimulir efek suara dan efek gerak.
Mudah terlipat, kecuali Billboard.
Tidak dapat menjangkau semua orang khususnya bagi masyarakat yang buta huruf.
DAFTAR PUSTAKA
Notoatmodjo, Soekidjo.2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta : Rineka Cipta.